Jumat, 23 Januari 2009

Segumam Renungan

Seorang tetangga baru saja berangkat ke Hongkong, menjadi TKW. Selalu ada yang mengiris hati tiap kali ada yang pergi ke luar negeri, menyongsong nasib yang tak pasti. Satu yang pasti, mereka ingin perbaikan ekonomi. Selalu ada yang menusuk di kalbu, terlebih bila sang ibu meninggalkan balita kepada neneknya. Cerita-cerita yang kudengar begitu menyesakkan dada.

Kalau tak kerasan dengan majikan lalu lapor pada agen, tamparan dan hajaran yang akan diterima. Dicaci –maki majikan sampai di luar batas kepatutan diterima saja selagi tak ada kekerasan fisik. Juga cerita soal kesulitan beribadah, utamanya sholat dan puasa. Pernah pula ada yang pulang dengan luka-luka yang mengerikan, tapi tak berani lapor lantaran takut urusan jadi panjang. Mungkin karena ketertekanan ekonomi yang demikian menghimpit hingga sederet kisah kelam tak menyurutkan tekad para perempuan itu untuk pergi. Mungkin juga kisah sukses mereka yang mampu membeli tanah, sepeda motor, memperbaiki rumah dan mencukupi biaya sekolah, yang menjadi penyemangat lebih.


Pernah kutanyakan, mengapa bukan laki-laki saja yang ke luar negeri? Ternyata, jika perempuan yang pergi, tidak perlu membayar. Biaya pemberangkatan, nanti potong gaji. Tidak membayar, malah dapat uang untuk ditinggalkan pada keluarga. Seharusnya, menurutku, di saat mencari uang begitu sulit, kemudahan pemberian uang semacam itu patut diwaspadai. Lha wong belum kerja kok sudah dapat uang.

Dan, kewaspadaan (boleh dibaca curiga)ku ternyata menemukan bukti. Seorang tetangga yang tidak jadi berangkat didenda 6 juta. Dan pihak agen tidak mau memberikan perincian, untuk apa saja uang sebanyak itu. Aku yakin, ada begitu banyak makelar yang kecipratan.

Fenomena TKW sangat memprihatinkan. Yang pergi belum tentu nasibnya. Yang di rumah jadi kehilangan sosok ibu. Namun, apa yang bisa kulakukan untuk mencegah kepergian mereka? Memberi pekerjaan belum mampu, memberi uang apalagi. Dan yang paling parah, aku belum bisa konsisten dalam memikirkan hal ini. Aku masih sering larut dengan persoalanku sendiri. Aku masih sulit menekan ego. Aku masih sibuk dan heboh menuntut hakku. Meminjam istilah suami, aku masih ’belum selesai dengan diriku sendiri’.

Wahai Ibu, Bahagiakan Dirimu

Kenapa harus ibu? Yap, karena kebahagiaan seorang ibu menjadi penentu kebahagiaan seisi rumah. Anak, suami, bahkan mertua dan tetangga. Jika seorang ibu bahagia, maka kebahagiaan itu akan terpancar, menginspirasi sekelilingnya. Anak-anak tumbuh dengan emosi—dan pada akhirnya—kecerdasan dan potensi yang optimal. Jika istri dan anaknya bahagia, tentu suami akan bahagia.

Sebaliknya, jika ibu sedih, jika di wajahnya senantiasa dirundung nestapa putus asa, maka kehidupan akan muram. Setidaknya, begitulah yang saya alami dan amati. Memang, Kuntowijoyo pernah menulis bahwa pengalaman itu parsial dan tanpa analisis. Tapi karena saya meyakini bahwa pendapat ’ibu adalah penentu kebahagiaan’ justru dapat menguatkan perempuan dalam berbagai hal, maka saya akan gunakan pengalaman dan pengamatan sebagai dasar menulis.


Dulu, saya mudah sekali menyalahkan ibu yang bertindak tidak sabar kepada anaknya. Sering juga membatin, ’Kok bisa sih kejam begitu pada anak’, ’Sudah jadi ibu kok tidak bisa mengendalikan emosi’. ’Gimana sih ibu itu, memangnya anaknya mau dijadikan preman, kok kasar banget’ dan seterusnya. Sekarang juga tetap tidak membenarkan, tetapi setidaknya saya bisa memahami.

Bahwa seorang ibu yang tidak bahagaia/stress, sangat mudah melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak dia inginkan. Contoh gampang, marah (baca:ngamuk) pada anak. Membentak, melotot, memaki bahkan juga berupa kekerasan fisik dengan tangan atau kaki (tidak perlu saya detailkan ya, soalnya bikin sedih dan ngeri). Hampir semua ibu menyatakan menyesal dengan perilaku marah yang berlebihan pada anak. Namun, hampir semua juga menyatakan selalu mengulangi. Kapok sambel, kata orang Jawa.


Bu, apa yang membuatmu tertekan? Apa yang membuatmu tidak bahagia? Apa yang membuat wajahmu muram? Apa yang membuat hatimu gulana.

Mari Bu, kita pelajari jiwa kita sendiri, karena jiwa itulah yang menentukan semua. Segumpal darah yang menentukan. Hati. Jiwa. Dari perbaikan jiwa kita adakan perubahan yang sangat besar untuk dunia. Bismillah, kita melangkah bersama ....

Mulai dari mana, Bu? Saya ingin mengajak berbincang tentang isu KDRT terkait dengan pemberdayaan perempuan dan pandangan Islam.