Kamis, 30 April 2009

KENA MOLA

Aku pernah hamil anggur alias mola. Waktu itu hamil kedua. Anak pertama umurnya berapa lupa, tapi yang jelas belum bisa jalan. Kehamilanku beberapa kali pendarahan. Tapi karena darahnya sedikit, kubawa ke bidan saja. Kuabaikan saran bidan untuk USG langsung. Jujur, aku khawatir dengan vonis ’janin lemah, gugurkan saja’. Sama bidan diberi pil penguat. Sampai suatu hari, keluar darah merah segar cukup banyak. Aku takut dan panik. Akhirnya, aku menurut pada saran bidan untuk USG. Melihat gambar di layar, Dokter bilang kalau ada dua kemungkinan atas kehamilanku. Janinku hancur atau atau hamil anggur. Dokter bilang, semoga saja bukan hamil anggur. Aku belum ngeh apa itu hamil anggur. Yang jelas, aku tidak jadi mau punya anak lagi, dan aku menangis di punggung suamiku dalam perjalanan pulang.
Usai kuretase, suami bilang kalau aku hamil angggur, kemudian membawakan berbagai tulisan tentang hal tersebut yang diambil dari internet. Cukup khawatir dan takut juga. Dokter memberi motivasi dan cerita yang positif. Yang pernah mengalami mola biasanya bla bala bla (menakutkan) tapi ada juga kok yang bla bla bla (memberi harapan, menggembirakan). Hasilnya, aku jadi tidak terlalu khawatir lagi, lebih optimis.

Aku harus test pack sebanyak 6 kali. Dan hasilnya harus negatif terus. Kalau sampai positif, berarti harus kuret lagi. Waduuuh, penderitaan saat kuret masih terbayang, masih ada ’ancaman’ untuk kuret lagi, Waaah, tiap kali mau test pack, jadi seperti anak ABG yang pacaran kebablasan/ main free sex. Takut kalau hasilnya positif! Alhamdulillah, hasilnya negatif terus. Seorang bidan (bukan bidan yang biasa memeriksaku, waktu itu aku lagi nengok orangtua) pernah bilang kalau kuret mola itu minimal dua kali. Aku langsung konfirmasi sama dokter. Katanya, itu tidak benar karena tergantung pada jenis molanya.

Alhamdulillah rupanya rahimku sudah bersih meski kuret cuma sekali. Kata dokter, minimal dua kali itu kalau molanya terlanjur besar. Kuret pertama untuk meruntuhkan mola, dan kuret kedua untuk membersihkan total.
Aku dinasehati untuk hamil lagi paling cepat setahun atau dua tahun lagi. Kenyataannya, 6 bulan kemudian aku hamil. Cukup was-was juga. Cepat-cepat USG. Pertama USG, janin belum terlihat saking kecilnya (belum ada sebulan). USG kedua, alhamdulillah, ternyata ada janinnya. Kokoh. Menjalani kehamilan dengan was-was, sambil terus berdoa. Alhamdulillah, lahir selamat, sehat sampai sekarang. Mumtaza (istimewa) Zahwa (membanggakan) Naila (karunia) Irkham (nama ayahnya). Maha besar Allah!

GALAK ATAU BAIK?

Episode 1
”Mbak Lia, Mama baik atau galak?”
“Galak.”
“Mama galak atau baik?”
“Galak.”
Hiks, jawabannya kok sama.
“Kalau begitu, doakan Mama dong.”
“Doanya gimana?”
“Ya Allah, jadikan Mamaku Mama yang shalihah, yang sabar, yang ikhlas. Ampuni dosa-dosa Mama, Ya Allah. Gitu.”
Aulia masih asyik dengan dotnya, berbaring di kasur merah, di depan pesawat TV yang mati, sambil memandang langit-langit rumah.
Lalu, kutinggalkan Lia ke belakang. Ketika aku kembali di sampingnya, Lia berkata sambil tersenyum,
“Mama baik.”
Hanya satu kalimat, lalu melanjutkan ngedot lagi.
Bahagianya :-)
Aku mama yang baik? Amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnn


Episode 2
Malam, di kasur merah, lagi-lagi di depan pesawat tivi yang tidak menyala. Kutanya Lia yang sedang berbaring.
”Mama galak atau baik?”
”Baik.”
Wah, langsung dijawab baik. Hati berbunga-bunga, GR gitu loh. Apalagi saat itu ada keponakanku.
“Baik, sithik (sedikit),” tambah Lia tanpa dosa.
Wadooowwww!!!!!

Rabu, 22 April 2009

Perempuan, Mandiri Yuk!

:Jazimah Al Muhyi

“Suami tidak memberiku kesempatan untuk berkembang.”
”Gimana mau maju? Aku disibukkan oleh urusan rumah dan suamiku tidak mau bantu.”
Apakah suami Anda seperti Mahatma Gandhi? Dia hebat, ternama, sementara istrinya tidak bisa menjadi patner sejajar? Apakah Anda lantas merasa senasib dengan Kasturbai (istri Gandhi) yang hanya bisa bengong dengan ide-ide besar suaminya?

Lelahkah Anda mengejar cita-cita yang sepertinya menempel di langit ke tujuh, jauh sekali sepertinya tidak akan mungkin tercapai biar pun langit runtuh?

Jika memilih gagal, seribu alasan bisa diberikan sebagai alat pembela diri. Begitu pula jika memutuskan untuk berhasil. Kerepotan mengatur rumah tangga, mengurus anak, melayani suami, adalah deret alasan yang bisa/ biasa digunakan untuk memaklumi kemunduran pemikiran/ kekuatan intelektual seorang ibu.

Suami harus mendukung bagaimana? Sedang dia sudah banyak sekali tanggung jawabnya. Nafkah untuk anak istri, kehidupan orangtua dan saudara perempuan yang belum menikah, juga keluarga mertuanya, belum lagi urusan umat. Bayangkan, dengan bebannya yang sudah sedemikian berat, dia masih harus memikirkan upaya kita mencapai cita-cita? Wuaduuh, kasihan dong.

Ayo, kita pasti bisa! Harus masak untuk anak, suami, masing-masing berselera beda, harus bereskan rumah, harus arisan, harus nyuci, harus nyetrika, dll, dsb, etc, waduh, kapan sempat mikir, padahal mau baca mau nulis.

Ada kemauan, pasti ada jalan. Yakin, dan terus melangkah. Buat kemajuan tiap hari, meski satu mili. Kan kita mau jadi mitra sejajar suami.

Perempuan itu Kuat

:Jazimah Al Muhyi

Perempuan diciptakan sama kuat dengan laki-laki. Kuat dalam hal apa? Kuat dalam menghadapi masalah kehidupan. Mungkin kekuatan fisik beda. Namun, bukankah untuk mengatasi aneka problem hidup tidak hanya dengan mengandalkan fisik?

Mari melihat walet. Dia diberi Allah sepasang kaki yang lemah. Tetapi, ternyata dia juga diberi karunia kuat terbang lama dan bisa tidur sambil terbang. Kekuatan terbang walet tidak main-main. Tahan sampai dua tahun!

Sigung yang bertubuh lemah harus menghadapi landak yang berduri tajam. Dan Allah membekali hidupnya dengan kentut yang sangat bau hingga si landak bakal kelenger. Cicak yang ‘hanya’ bisa merayap, mangsanya malah nyamuk yang terbang. Tapi kok tetap bisa makan? Ternyata, dia punya kesabaran dan ketekunan dalam melihat peluang.

Nah, perempuan tidak punya alasan sedikit pun untuk merasa lemah. Di balik kelemahan ada kekuatan. Di balik keterbatasan, selalu ada pertolongan-Nya. Mari kenali diri, ’senjata’ apa yang Allah lekatkan pada kita bersamaan dengan ’kelemahan’ yang ada.
Jadi, mari jadi perempuan kuat, perempuan mandiri!

Selasa, 31 Maret 2009

Yayasan Ibu Rumah Tangga Indonesia (YIRUTA INDONESIA)

Yayasan ini dibentuk berdasarkan keprihatinan yang mendalam atas hadirnya kenyataan bahwa kebanyakan pengasuhan terhadap anak masih jauh dari standar. Seringkali anak mendapat perlakuan apa adanya (bahkan kasar), dipandang belum tahu apa-apa (sering dibohongi), tidak bisa apa-apa (serba dilarang), sekaligus tidak perlu diajari apa pun (belajarnya nanti kalau sudah masuk sekolah). Padahal usia emas anak 0-5 tahun, masa di mana otak tumbuh secara optimal (mencapai 80%) berada di tangan ibu mereka. Benar sekarang ini telah tumbuh banyak sekali playgroup, bahkan sekolah untuk bayi di mana ada tenaga terdidik di sana. Namun prosentasenya masih sangat kecil.
Nasib bangsa ini 20 hingga 50 tahun ke depan ditentukan oleh kualitas para bayi dan balita hari ini. Mereka harus mendapat suplai gizi untuk fisik, pikiran dan jiwa mereka secara optimal.

Yayasan ini diharapkan akan digerakkan oleh mereka yang telah menyadari bahwa mendidik anak perlu banyak ilmu yang terus-menerus diasah, ditambah. Kesadaran itu nantinya akan ditularkan pada ibu-ibu lain di lingkungan terdekatnya.

Seorang aktifis Yiruta Indonesia idealnya adalah istri yang mumpuni, ibu yang handal, serta anggota masyarakat yang peduli. Dengan latar belakang pendidikan mana pun, seorang ibu cocok menjadi aktifis yayasan ini. Karena aneka problem dalam masyarakat membutuhkan solusi dari berbagai disiplin ilmu.

Kegiatan Yiruta Indonesia meliputi diskusi pengasuhan anak, pelatihan memasak, membuat aneka makanan yang higienis dan menarik, seminar/talk show seputar’ how to menjadi istri yang menawan hati suami’, aneka ketrampilan untuk cikal bakal home industri, workshop pengembangan potensi (sesuai dengan bakat dan minat peserta).

Founder Yiruta Indonesia
Jazimah al-Muhyi

Rabu, 11 Maret 2009

Siapa saya?

Assalamu’alaikum
Halo teman semua, halo sahabat pembaca, senang sekali akhirnya bisa kembali menyapa. Buat yang belum kenal, atau yang barangkali sudah lupa dengan sata:), mudah-mudahan setelah membaca berderet tulisan dibawah ini jadi ingat kembali, tali silaturahim-pun bersemi kembali:), Narsis dikit, tak apa ya....

Putri kedua dari empat bersaudara, dari Ibu bernama Siti Jamilatun dan Bapak bernama Muhyiddin. Ijazah SD hingga SMU mencatat nama Siti Jazimah dan tanggal lahir 11 Maret 1979 sebagai identitas resminya.

Menamatkan pendidikan formal di jenjang SMU pada tahun 1997, ia mulai intens belajar menulis sejak hengkang dari kampus FBS UNY jurusan Bahasa Inggris (awal Oktober 1998) yang baru dijalani sampai semester tiga. Pernah berguru mengarang dengan para pembimbing di Bina Muda Mandiri (BMM), sebuah lembaga bimbingan menulis jarak jauh di Jakarta, yang bekerja sama dengan Kedai Sastra Cipulir (KSC), diketuai oleh Jamiel Loellail Rora, selama kurang lebih satu tahun. Komunitas berkarya berikutnya adalah organisasi kepenulisan bernama Forum Lingkar Pena. Sejak tanggal 24 Agustus 2004 sampai sekarang. Karya yang pertama kali dimuat di media nasional adalah puisi (Statusku Apa?) di majalah Annida. Karya cerpen yang pertama dimuat di media nasional (Annida) adalah yang ke-36, berjudul ‘Si Mungil Pediculus’.

Karyanya dalam berbagai bentuk (cerpen, esay, puisi, cerita humor, info dan tips, dll) tersebar di Annida, Karima, Safina, MOP, Tren, Tabloid MQ, Aku Anak Saleh, Tabloid NOVA, Ummi. T-Zone, eramuslim.com, Sabili dan Permata. Prestasi menulis: pernah meraih juara untuk cipta puisi, resensi, penulisan skenario drama dan cerpen (dalam lingkup pesantren). Juga menjadi finalis pada Lomba Cerpen yang diadakan Majalah Karima (Surakarta).

Profil kepenulisannya pernah diangkat di majalah berbahasa Jawa Djoko Lodang (Yogyakarta) dan Panjebar Semangat (Surabaya), koran Merapi (Yogyakarta), majalah Smart (Yogyakarta) dan koran Analisa (Medan)

Istri Agus M Irkham dan ibu dua putri. Mazia Nur Aulia Irkham(lahir 4 Juni 2006) dan Mumtaza Zahwa Naila Irkham (lahir 10 Juni 2008). Sehari-hari mereka berdua dipanggil dengan Lia dan Naila, namun di sini saya akan menggunakan Zia dan Zahwa, biar lebih ‘indah’. Karena, bagaimanapun juga, ‘dunia blog’ beda dengan ‘dunia nyata’ :-)

Oh ya, pernah membaca satu dari beberapa buku yang saya tulis di bawah ini?
(1)Kumcer: Dilema Iman Sandra (FBA Press, 2001)
(2)Kumcer: Sketsa Putih (Mizan, 2002)
(3)Serial Akta 1: Kelelawar Wibeng (Era Intermedia, 2003)—salah satu babnya masuk di buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk SMP terbitan Grafindo Media Pratama
(4)Serial Akta 2: Gendut Oke, Hitam …. (Era Intermedia, 2003)
(5)Serial Romansa d’Abrar: Cinta Itu Bukan Virus (Era Intermedia, 2003)
(6)Kumcer: My Love– bersama Koko Nata (Mizan, 2004)
(7)Kumcer: Sania Cilukba (Zikrul Hakim, 2004)
(8)Kumcer: Getar Rindu Jiwa (Lintang Sastra, 2004)
(9)Kumcer: Di Antara 2 Pilihan (Gambala Media, 2004)
(10)Kumcer: Cinta dan Sebuah Puisi—bersama Herry Nurdi (Lingkar Pena Publishing House/ LPPH, 2004)
(11)Memoar: Ketika Harus Berbeda (Mandiri Visi Media, 2004)
(12)Kumcer: Dua Sisi Sekeping Cinta (Khazanah, 2005)
(13)Kumcer: Nana Jatuh Cinta-bersama Kania (Mizan, 2006)
(14)Memoar Nikah : Cewek Nembak Duluan (Mizan, 2006)
(15)Jangan Sembarang Nikah Dini (LPPH, 2006)
(16)Serial Akta 3: Ada Duka di Wibeng (Era Intermedia, 2006)
(17)Kumcer Anak : Selebriti Cilik (Mitra Bocah Muslim, 2006)

Buku yang berupa antologi bersama:
(1)Cerpen ‘Bayang-bayang Sebuah Asa’ dalam KETIKA DUKA TERSENYUM (FBA Press, 2001)
(2)Cerpen ‘Seribu Cinta Untuk Palestina’ dalam MERAH DI JENIN (FBA Press, 2002)
(3)Cerpen ‘Saat Menangis dan Tertawa’ dalam LIHATKAN BINTANG UNTUKKU (Mizan, 2003)
(4)Cerpen ‘Langit Kelabu Akankah Biru’ dalam SEMUA ATAS NAMA CINTA (Ghalia Indonesia, 2003)
(5)Cerpen ‘Penulis Terkenal’ dalam THE STORY OF JOMBLO (Lingkar Pena PH, 2004)
(6)Cerpen ‘Orang yang Selalu Berdiri Itu’ dalam 17 TAHUN (FBA Press, 2005)
(7)Esay ‘Sang Umar, Sang Inspirator’ dan ‘Perempuan-perempuan Tegar’ dalam MEMBASUH KALBU (GIP, 2006)
(8)Esay ‘Tukang Jatuh Cinta’ dalam KETIKA PENULIS JATUH CINTA (LPPH, 2005)
(9)Esay ‘Menikah ... Untuk Apa? Nikah ... Ehm ....’ dalam KISAH-KASIH DARI NEGERI PENGANTIN (LPPH, 2005)
(10)Cerpen ‘Cowok ABC’ dalam BADMAN: BIDIN! (LPPH, 2005)
(11)Dongeng ‘Keinginan Sang Putri’ dalam 11 DONGENG TERBAIK AKU ANAK SALEH (Aku Anak Saleh, 2005)
(12)Cerpen ‘Sang Idola’ dalam KETIKA CINTA MENEMUKANMU (GIP, 2006)
(13)Esay ‘Pada Awalnya Saya Menolak’ dalam GARA-GARA JILBABKU? (LPPH, 2006).
(14)Esay ‘Aku Cemburu’ dalam KARENAMU AKU CEMBURU (LPPH, 2007)
(15)Esay ‘Mengapa Perempuan Harus Mengalah’, ’Keberuntungan Perempuan Versi Dongeng’, dan ’Tak Mudah Menjadi Seorang Ibu’ dalam KARENA ENGKAU PEREMPUAN (GIP, 2007)
(16)Cerpen ’Barongan’ dalam KATA ORANG AKU MIRIP NABI YUSUF (Indiva, 2008)
(17)Esay ’Jangan Bete, Ma’ dalam PERSEMBAHAN CINTA (Jendela, 2008)

Tentang Full Time School ‘BAHAGIA’

By. Jazimah Al-Muhyi

Setiap ibu—idealnya—adalah pendidik utama untuk anak-anaknya. Dari pijakan berpikir demikian itulah saya namakan rumah tangga yang saya kelola sebagai sebuah sistem full time school (FTS). Dengan kalimat lain, saya ingin mengajak pada semua ibu yang telah memutuskan membaktikan seluruh waktu di rumah dengan menjadi full time mother, ibu penuh waktu, ibu 24 jam, untuk juga membuat sistem full time school di rumah masing-masing.

Kurikulumnya bagaimana? Sistemnya bagaimana?
Saya mengikuti pembagian usia pendidikan yang dibagi tiga. Tujuh tahun pertama masa bermain, tujuh tahun kedua masa pembentukan, dan berikutnya adalah pelaksanaan tanggung jawab (sudah harus terjun langsung menjadi bagian dari solusi atas kompleksitas persoalan umat dan bangsa).

Nah, karena dua anak saya masih dalam masa bermain, di FTS saya ya isinya main dan main. Kalo anak lagi pengin belajar sholat, ya sholat. Kalau sudah bosan (padahal satu rokaat saja belum selesai), ya berhenti. Kalau ngajak jalan-jalan, ya jalan-jalan (Anak sulung saya kuat banget kalau suruh jalan kaki) Kalau ingin dibacakan buku, ya dibacakan buku. Kalau anak ngajak main jual-jualan, ya ayo. Nah, tugas pendidik utama (awalnya saya menggunakan istilah fasilitator, tapi kini dan untuk selanjutnya saya akan menggunakan sebutan pendidik utama) adalah terus mencari cara-cara untuk menggali dan mengoptimalkan potensi anak.

Anak saya suka main gaburan (gambar yang dipotong kecil untuk dilempar-lempar), maka lembar abjad saya gunting per huruf untuk dijadikan gaburan. Lebih banyak yang hilang sih, dan sampai sekarang yang diingat baru satu huruf. Huruf O. Tidak masalah. Justru menantang untuk membuat cara lain, memikirkan terobosan yang lain.

Nama ‘Bahagia’ menjadi semacam motivasi bagi saya untuk berjuang membahagiakan anak-anak saya, juga anak siapa pun yang saya jumpai. Ada banyak hal yang bisa dilakukan. Paling awal dan utama adalah jangan marah. Jangan marah ini ikutannya banyak. Di antaranya tidak memaki, tidak menyalahkan, tidak menuntut lebih, memaafkan anak. Teorinya sudah sangat hapal luar kepala, sementara praktik masih diperbaiki terus-menerus.

Membuat anak bahagia. Langkah-langkahnya sebenarnya tidak terlalu sulit. Cuma, orangtua memang perlu berjuang untuk yakin dengan pilihannya. Kenapa? Karena ada banyak hal yang terkadang berbenturan dengan ego orangtua. Anak paling suka main air dan pasir (termasuk tanah) sementara orangtua lebih suka melihat anak yang bersih. Bersih badannya, bersih pula pakaiannya. Dengan komitmen ‘bahagiakan anak’, maka akan ada perjuangan penundukan ego. Kebahagiaan anakku lebih penting dari pencitraan yang ingin kuciptakan bahwa aku ini orangtua yang resikan. (Resik, dalam bahasa jawa artinya bersih)

Pikiran saya secara sadar senang bila anak saya tidak takut kotor, dia suka eksplorasi apa saja. Karena bersih, enak dipandang itu sudah diambil perannya oleh patung anak-anak(manekin) yang ada di toko. Manekin itu memang harus bersih dan menarik karena ia bertugas menawarkan baju kepada pembeli.

Namun, di saat nilai diri turun, harga diri serasa direndahkan (persoalan ego), maka saya akan terpancing melakukan tindakan yang menghentikan kebahagiaan anak demi memperoleh citra sebagai orangtua yang perfect, educated, dll, dsb. Misal, saat ada yang berkomentar tentang rambut anak yang tidak rapi, saya merasa ingin sekali memaksa anak untuk mau potong rambut atau menguncir rambutnya, atau memasangkan jepit rambut, dan kalau semua tawaran ditolak anak rasanya jadi ingin meledak. Yang lain, terkadang anak memakai baju yang tidak match bahkan kacau.

Celana pendek dipakai di luar seperti Superman, atau pernah juga memakai empat celana sekaligus. Alasannya biar kalau jatuh tidak sakit/ lututnya tidak luka. Masuk akal dan cerdas, saya tahu, tapi tetap tidak saya ijinkan. Alhamdulillah waktu itu negosiasinya lancar. Saya memang masih terus belajar sabar, untuk bisa tulus menerima anak apa adanya, di antaranya dengan mengingat pesan AS Neill, pendiri Summerhill School, “Kehidupan batiniah anak lebih penting dari tampilan fisiknya.”

Bahagia. Adalah juga perjuangan bahwa anak harus belajar dengan bahagia. Dulu saya bercita-cita punya anak yang bisa membaca saat usianya 2 tahun. Saya buatkan buku gambar buah, yang di setiap halaman saya tulis nama buahnya dengan huruf yang besar-besar. Saya perlihatkan setiap ada kesempatan. Saya juga terus berpikir apa yang harus dilakukan agar tekad saya tercapai. Sampai kemudian saya bertemu dengan buku Fauzil Adhimn yang menyatakan bahwa yang terpenting justru menanamkan motivasi pre reading. Yap, anak harus dibuat senang dulu dengan buku. Saat-saat bersama buku adalah saat membahagiakan baginya. Soal kemampuan teknis membaca, itu gampang. Nanti kalau sudah saatnya, dia yang akan berjuang sendiri ‘menakhlukkan teks’ demi bisa mengerti apa-apa yang tertulis.

Bahagia. Anak saya suka main hujan-hujanan. Dulu, jangankan hujan-hujanan, main air saja saya larang. Karena saya khawatir anak saya suhu badannya meningkat (panas). Kenapa saya khawatir anak saya panas? Karena dia pernah kejang (step). Padahal saya tahu bahwa kejang bisa mematikan ribuan sel di otak. Gampangnya, keseringan kejang bisa merusak keerdasan anak.

Sampai kemudian saya menyadari bahwa jika anak saya bahagia, dia bisa mengoptimalkan apa saja yang ada padanya. (Soal ini saya kerap merujuk kalimat harapan Neill pada anak didiknya: menjadi kondektur yang bahagia lebih baik daripada menjadi sarjana yang sakit jiwa) Saya juga kemudian tahu bahwa apa yang dipikirkan orangtua kerap menjadi kenyataan pada diri anak. Gampangnya kalau saya berpikir (apalagi dikuatkan dengan ucapan), ”Jangan hujan-hujanan, nanti masuk angin lho!” anak akan betul-betul masuk angin. Tapi kalau dibilang, ”Tuh Mbak, hujan. Mau hujan-hujanan sekarang? Butuh apa? Ember? Botol?” Kegiatan itu didukung penuh dengan semangat, optimisme bahwa hujan adalah kesempatan untuk membaca ayat kauniyah, mengekspolarasi banyak hal, insya Allah tidak akan sakit.

Keputusan untuk membolehkan anak main hujan-hujanan memang bukan tanpa alasan. Selain memang untuk membahagiakan anak, juga karena saya pernah membaca tentang ’tips aman hujan-hujanan’. Intinya, pastikan anak dalam kondisi sehat dan kenyang. Nanti di sela-sela diguyur air hujan., saya beri air putih madu hangat. Kalau main hujannya agak lama bahkan saya suapi untuk kemudian main hujan-hujanan lagi.Usai hujan-hujanan, mandikan dengan air hangat dan baluri dengan minyak kayu putih.

Soal kekhawatiran terhadap badan hangat yang mungkin bisa step sehingga kecerdasan rusak, saya tercerahkan oleh sebuah cerita luar biasa. Tentang seorang ibu yang membacakan 11 buku untuk anaknya yang down syndrome (mentalnya terbelakang). 11 buku setiap hari! Hasilnya, anak itu kemudian memiliki kecerdasan normal. Dahsyat! Cerita itu menginspirasi saya untuk tidak mengkhawatirkan anak. Yang down syndrome saja bisa jadi normal, apalagi ’cuma’ rusak beberapa ribu sel saraf otak. Tapi, tentu, setiap kali saya selalu berdoa agar step itu tak terulang. Tak tega melihatnya menderita.

Konsep berikutnya tentang bahagia adalah anak belajar membahagiakan diri. Ini bisa dimulai dengan rasa penerimaaan diri. Kepercayaan diri yang oke. Untuk bisa mendapatkan hal tersebut, jelas peran orangtua sangat penting bahkan dominan. Biarkan saja orang lain mengomentari hidung anak kita pesek, kulitnya yang hitam, badannya yang pendek, atau memberi cap negatif semacam wedinan (penakut), gambreng (cengeng), jago kandang, dll, tapi sepanjang sang ibu selalu dengan yakin mengatakan ’kamu pinter, kamu hebat, kamu pasti bisa, ibu bangga padamu, kamu baik hati,’dll, anak akan punya self esteem yang tinggi.

Jika anak sudah bahgia, maka diharapkan dia bisa menularkan ’virus’ bahagia ini ke semua orang. Jika anak merasa nyaman dalam kondisi bahagia, maka diharapkan dia akan punya semangat membahagiakan siapa pun yang dikenalnya. MEMBAHAGIAKAN UMAT. Itulah ultimate goal-nya.

Untuk tujuan tersebut, saya buatkan 2 lagu untuk si sulung (lahir 4 Juni 2006)

Lagu pertama
Aulia anak sholihah
Selalu berbakti pada allah
Bertekad berkhidmat kepada umat
Ke mana saja membawa manfaat
Bertekad berkhidmat kepada umat
Di mana saja memberi manfaat
Kehadirannya membawa maslahat

Lagu kedua
Akulah Mazia Nur Aulia Irkham
Aku pintar dan baik hati
Aku suka menjelajah suka meneliti
Aku juga suka mengobati
Kan aku didik anak-anak negeri menjadi generasi berbudi
Menjadi generasi Robbani
Amiiin

Sementara untuk anak kedua, baru satu lagu yang tercipta (lahir 10 Juni 2009)
Akulah Mumtaza Zahwa Naila Irkham
Aku muslimah pemberani
Mujahidah yang tangguh
Mujahidah yang hebat
Meujahidah yang canggih
Pinter main komputer
Jago ngrakit pesawat
Mahir dalam banyak bahasa
Arab Inggris Perancis Jerman Jepang Rusia (biasanya saya sebutkan sebanyak yang saya ingat lalu saya akhiri dengan kata ‘semua semua’)

Tampil Bareng Penyebar Virus Ayat Ayat Cinta


By. Jazimah Al-Muhyi
Jumat 6 Maret 2009 yang lalu, saya berkesempatan menjadi pembicara di sekolah alam Ar Ridho Semarang bersama Habiburrahman el Shirazy (Kang Abik). Ini bukan pertama kali saya menjadi pembicara bareng beliau. Tapi, menjadi pertama kali sejak nama beliau melambung berkat Ayat-ayat Cinta. Ngobrol seputar bagaimana mendidik anak suka baca dan nulis. Kang Abik diposisikan sebagai penulis, dan saya diposisikan sebagai pendidik.

Wah, peserta luar biasa banyak. Magnet Kang Abik tentunya. Jumlah peserta jauh melebihi target, kata panitia. Makanya, ada yang rela duduk berhimpitan di luar arena, di bawah pohon, dekat banget sound system sampai pusing sendiri, dll.

Jumlahnya banyak, dan sangat antusias. Begitu sesi tanya jawab digelar, yang mengacungkan tangan untuk bertanya tak semua bisa terlayani. Kang Abik ketiban banyak pertanyaan, saya juga. Bagaimana mengatasi anak yang kecanduan TV, bagaimana cara menanyai anak tanpa anak merasa diinterogasi, bagaimana mengatasi jenuh dan kosong ide dalam menulis, dll.

Ada dua pertanyaan untuk saya, yang bagi saya amat menarik. Satu, pertanyaan seorang ibu guru. Pertanyaan itu berkaitan dengan pernyataan-pernyataan saya bahwa yang paling bertanggung jawab atas pendidikan anak adalah orangtuanya. Dia bertanya, bagaimana dengan para ibu yang mengajar di full day school? Bukankah mereka malah tidak bisa mendidik anak-anaknya? Atau, apakah para ibu itu berhenti menjadi guru saja? Saya memberi saran agar si ibu yang jadi pengajar ini sekalian membawa anaknya untuk bersekolah di tempat dia mengajar. Kan ironi, kalau seorang perempuan mendidik anak orang lain, sementara di saat yang sama anaknya sendiri malah dipegang oleh orang yang tidak berpendidikan. Padahal usia emas (5 tahun pertama) tidak akan pernah tergantikan keistimewaannya. Kalau pada golden age itu tidak dimaksimalkan fungsi otak, fisik dan jiwanya, ke depan akan lebih sulit lagi pembentukannya. Rugi besar tho?

Pertanyaan menarik kedua adalah mengenai Full Time School ’Bahagia’. Bagaimana kurikulumnya? Bagaimana sistemnya?

Begini ceritanya. Ketika panitia meminta ‘status saya’ untuk keperluan publikasi—maka saya minta ditulis sebagai fasilitator full time school ‘bahagia’. Anda ingin tahu juga? Silakan ikuti tulisan berikutnya:),

Jumat, 06 Februari 2009

Organisasi Profesi Untuk Ibu Rumah Tangga

Wartawan punya PWI, pengusaha muda punya HIPMI, dokter punya IDI, ibu rumah tangga punya apa?

Barangkali, dengan sedikit senyum jenaka atau malah tertawa ngakak ada yang menjawab kalau ibu rumah tangga punya PKK. Tapi benarkah PKK sudah berfungsi layaknya organisasi? Benarkah PKK punya andil untuk lebih meningkatkan kinerja para ibu rumah tangga, punya andil dalam meningkatkan ketrampilan atau tingkat intelektual para ibu dalam menghadapi masalah keseharian?

Ada banyak alasan bagi seorang perempuan memilih rumah sebagai pusat aktivitas. Ada yang tidak tahu alias karena nature saja, ada yang memang beralasan. Ada yang sukarela ada pula yang mengandung unsur paksa. Misal karena permintaan suami. Selama anak belum masuk sekolah belum boleh kerja, misalnya. Seorang teman yang sebelumnya bekerja memutuskan full di rumah dengan alasan, ’semua hasil didikan saya hilang di tangan pengasuh’. Seorang saudara saya memilih berhenti bekerja justru karena punya jiwa workerholic. Kalau aku kerja, bisa jadi anakku tidak terurus sama sekali, demikian akunya. Dia tipe gila kerja, dengan lama kerja 12 jam per hari, bekerja di perusahaan asing dengan posisi cukup lumayan. Deadline Sabtu selesai Jum’at, begitu katanya.

Para ibu yang pernah aktif di luar dan kemudian di rumah, atau bahkan juga yang punya potensi untuk berkiprah di ruang publik namun ’terpaksa’ harus menghabiskan mayoritas waktunya di rumah, umumnya mengalami beberapa persoalan khas. Ini memang bukan hasil polling atau penelitian yang sangat serius. Sekadar hasil ngobrol dengan beberapa teman ’senasib’. Problem itu antara lain menyangkut kesulitan mencari teman bicara yang ’nyambung’, juga tingkat intelektual yang serasa mandeg sehingga menjalani hidup terasa membosankan. Jenuh, boring, bete. Serasa menjadi makhluk tak berguna.

Alangkah sayang jika hal demikian dibiarkan berlarut-larut. Karena bukankah tujuan full di rumah itu untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak? Mana mungkin anak bisa tumbuh baik (secara fisik, intelektual dan jiwa) kalau ibunya jenuh, bete, boring, sumpek dan—apalagi—stress melulu.

Untuk itulah saya punya ide mengenai organisasi profesi untuk para full time mother (FTM). Yang terbayang di benak saya adalah bagaimana membuat para ibu yang memilih menjadi FTM ini percaya diri dan bahagia, kemudian tetap bisa mengasah potensi intelektualnya. Kegiatannya mendiskusikan masalah, terutama yang berkaitan dengan perempuan dan anak, di wilayah masing-masing untuk kemudian bisa saling menyarankan alternatif solusi. Kemudian, memikirkan bagaimana ilmu dan pengalaman yang pernah diperoleh di luar ditransfer ke masyarakat. Membumikan yang biasa dijadikan tema ‘omong besar’ dalam realitas keseharian. Jangka panjang, bisa membantu peningkatan kualitas para ibu yang menjalani perannya masih sebatas ‘nature’ dalam artian belum menyadari kalau mengurus rumah tangga dan anak itu ada ilmunya.

Saya belum tahu mulai dari mana. Kalau memakai milis atau fasilitas internet lain, tidak semua FTM ini punya kemudahan akses (terutama yang tinggal di pedesaan seperti saya). Sementara ini saya menulis surat kepada sahabat-sahabat perempuan saya untuk berbagi. Adakah yang tertarik atau punya ide lebih realistis?

Jumat, 23 Januari 2009

Segumam Renungan

Seorang tetangga baru saja berangkat ke Hongkong, menjadi TKW. Selalu ada yang mengiris hati tiap kali ada yang pergi ke luar negeri, menyongsong nasib yang tak pasti. Satu yang pasti, mereka ingin perbaikan ekonomi. Selalu ada yang menusuk di kalbu, terlebih bila sang ibu meninggalkan balita kepada neneknya. Cerita-cerita yang kudengar begitu menyesakkan dada.

Kalau tak kerasan dengan majikan lalu lapor pada agen, tamparan dan hajaran yang akan diterima. Dicaci –maki majikan sampai di luar batas kepatutan diterima saja selagi tak ada kekerasan fisik. Juga cerita soal kesulitan beribadah, utamanya sholat dan puasa. Pernah pula ada yang pulang dengan luka-luka yang mengerikan, tapi tak berani lapor lantaran takut urusan jadi panjang. Mungkin karena ketertekanan ekonomi yang demikian menghimpit hingga sederet kisah kelam tak menyurutkan tekad para perempuan itu untuk pergi. Mungkin juga kisah sukses mereka yang mampu membeli tanah, sepeda motor, memperbaiki rumah dan mencukupi biaya sekolah, yang menjadi penyemangat lebih.


Pernah kutanyakan, mengapa bukan laki-laki saja yang ke luar negeri? Ternyata, jika perempuan yang pergi, tidak perlu membayar. Biaya pemberangkatan, nanti potong gaji. Tidak membayar, malah dapat uang untuk ditinggalkan pada keluarga. Seharusnya, menurutku, di saat mencari uang begitu sulit, kemudahan pemberian uang semacam itu patut diwaspadai. Lha wong belum kerja kok sudah dapat uang.

Dan, kewaspadaan (boleh dibaca curiga)ku ternyata menemukan bukti. Seorang tetangga yang tidak jadi berangkat didenda 6 juta. Dan pihak agen tidak mau memberikan perincian, untuk apa saja uang sebanyak itu. Aku yakin, ada begitu banyak makelar yang kecipratan.

Fenomena TKW sangat memprihatinkan. Yang pergi belum tentu nasibnya. Yang di rumah jadi kehilangan sosok ibu. Namun, apa yang bisa kulakukan untuk mencegah kepergian mereka? Memberi pekerjaan belum mampu, memberi uang apalagi. Dan yang paling parah, aku belum bisa konsisten dalam memikirkan hal ini. Aku masih sering larut dengan persoalanku sendiri. Aku masih sulit menekan ego. Aku masih sibuk dan heboh menuntut hakku. Meminjam istilah suami, aku masih ’belum selesai dengan diriku sendiri’.

Wahai Ibu, Bahagiakan Dirimu

Kenapa harus ibu? Yap, karena kebahagiaan seorang ibu menjadi penentu kebahagiaan seisi rumah. Anak, suami, bahkan mertua dan tetangga. Jika seorang ibu bahagia, maka kebahagiaan itu akan terpancar, menginspirasi sekelilingnya. Anak-anak tumbuh dengan emosi—dan pada akhirnya—kecerdasan dan potensi yang optimal. Jika istri dan anaknya bahagia, tentu suami akan bahagia.

Sebaliknya, jika ibu sedih, jika di wajahnya senantiasa dirundung nestapa putus asa, maka kehidupan akan muram. Setidaknya, begitulah yang saya alami dan amati. Memang, Kuntowijoyo pernah menulis bahwa pengalaman itu parsial dan tanpa analisis. Tapi karena saya meyakini bahwa pendapat ’ibu adalah penentu kebahagiaan’ justru dapat menguatkan perempuan dalam berbagai hal, maka saya akan gunakan pengalaman dan pengamatan sebagai dasar menulis.


Dulu, saya mudah sekali menyalahkan ibu yang bertindak tidak sabar kepada anaknya. Sering juga membatin, ’Kok bisa sih kejam begitu pada anak’, ’Sudah jadi ibu kok tidak bisa mengendalikan emosi’. ’Gimana sih ibu itu, memangnya anaknya mau dijadikan preman, kok kasar banget’ dan seterusnya. Sekarang juga tetap tidak membenarkan, tetapi setidaknya saya bisa memahami.

Bahwa seorang ibu yang tidak bahagaia/stress, sangat mudah melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak dia inginkan. Contoh gampang, marah (baca:ngamuk) pada anak. Membentak, melotot, memaki bahkan juga berupa kekerasan fisik dengan tangan atau kaki (tidak perlu saya detailkan ya, soalnya bikin sedih dan ngeri). Hampir semua ibu menyatakan menyesal dengan perilaku marah yang berlebihan pada anak. Namun, hampir semua juga menyatakan selalu mengulangi. Kapok sambel, kata orang Jawa.


Bu, apa yang membuatmu tertekan? Apa yang membuatmu tidak bahagia? Apa yang membuat wajahmu muram? Apa yang membuat hatimu gulana.

Mari Bu, kita pelajari jiwa kita sendiri, karena jiwa itulah yang menentukan semua. Segumpal darah yang menentukan. Hati. Jiwa. Dari perbaikan jiwa kita adakan perubahan yang sangat besar untuk dunia. Bismillah, kita melangkah bersama ....

Mulai dari mana, Bu? Saya ingin mengajak berbincang tentang isu KDRT terkait dengan pemberdayaan perempuan dan pandangan Islam.