Rabu, 11 Maret 2009

Tentang Full Time School ‘BAHAGIA’

By. Jazimah Al-Muhyi

Setiap ibu—idealnya—adalah pendidik utama untuk anak-anaknya. Dari pijakan berpikir demikian itulah saya namakan rumah tangga yang saya kelola sebagai sebuah sistem full time school (FTS). Dengan kalimat lain, saya ingin mengajak pada semua ibu yang telah memutuskan membaktikan seluruh waktu di rumah dengan menjadi full time mother, ibu penuh waktu, ibu 24 jam, untuk juga membuat sistem full time school di rumah masing-masing.

Kurikulumnya bagaimana? Sistemnya bagaimana?
Saya mengikuti pembagian usia pendidikan yang dibagi tiga. Tujuh tahun pertama masa bermain, tujuh tahun kedua masa pembentukan, dan berikutnya adalah pelaksanaan tanggung jawab (sudah harus terjun langsung menjadi bagian dari solusi atas kompleksitas persoalan umat dan bangsa).

Nah, karena dua anak saya masih dalam masa bermain, di FTS saya ya isinya main dan main. Kalo anak lagi pengin belajar sholat, ya sholat. Kalau sudah bosan (padahal satu rokaat saja belum selesai), ya berhenti. Kalau ngajak jalan-jalan, ya jalan-jalan (Anak sulung saya kuat banget kalau suruh jalan kaki) Kalau ingin dibacakan buku, ya dibacakan buku. Kalau anak ngajak main jual-jualan, ya ayo. Nah, tugas pendidik utama (awalnya saya menggunakan istilah fasilitator, tapi kini dan untuk selanjutnya saya akan menggunakan sebutan pendidik utama) adalah terus mencari cara-cara untuk menggali dan mengoptimalkan potensi anak.

Anak saya suka main gaburan (gambar yang dipotong kecil untuk dilempar-lempar), maka lembar abjad saya gunting per huruf untuk dijadikan gaburan. Lebih banyak yang hilang sih, dan sampai sekarang yang diingat baru satu huruf. Huruf O. Tidak masalah. Justru menantang untuk membuat cara lain, memikirkan terobosan yang lain.

Nama ‘Bahagia’ menjadi semacam motivasi bagi saya untuk berjuang membahagiakan anak-anak saya, juga anak siapa pun yang saya jumpai. Ada banyak hal yang bisa dilakukan. Paling awal dan utama adalah jangan marah. Jangan marah ini ikutannya banyak. Di antaranya tidak memaki, tidak menyalahkan, tidak menuntut lebih, memaafkan anak. Teorinya sudah sangat hapal luar kepala, sementara praktik masih diperbaiki terus-menerus.

Membuat anak bahagia. Langkah-langkahnya sebenarnya tidak terlalu sulit. Cuma, orangtua memang perlu berjuang untuk yakin dengan pilihannya. Kenapa? Karena ada banyak hal yang terkadang berbenturan dengan ego orangtua. Anak paling suka main air dan pasir (termasuk tanah) sementara orangtua lebih suka melihat anak yang bersih. Bersih badannya, bersih pula pakaiannya. Dengan komitmen ‘bahagiakan anak’, maka akan ada perjuangan penundukan ego. Kebahagiaan anakku lebih penting dari pencitraan yang ingin kuciptakan bahwa aku ini orangtua yang resikan. (Resik, dalam bahasa jawa artinya bersih)

Pikiran saya secara sadar senang bila anak saya tidak takut kotor, dia suka eksplorasi apa saja. Karena bersih, enak dipandang itu sudah diambil perannya oleh patung anak-anak(manekin) yang ada di toko. Manekin itu memang harus bersih dan menarik karena ia bertugas menawarkan baju kepada pembeli.

Namun, di saat nilai diri turun, harga diri serasa direndahkan (persoalan ego), maka saya akan terpancing melakukan tindakan yang menghentikan kebahagiaan anak demi memperoleh citra sebagai orangtua yang perfect, educated, dll, dsb. Misal, saat ada yang berkomentar tentang rambut anak yang tidak rapi, saya merasa ingin sekali memaksa anak untuk mau potong rambut atau menguncir rambutnya, atau memasangkan jepit rambut, dan kalau semua tawaran ditolak anak rasanya jadi ingin meledak. Yang lain, terkadang anak memakai baju yang tidak match bahkan kacau.

Celana pendek dipakai di luar seperti Superman, atau pernah juga memakai empat celana sekaligus. Alasannya biar kalau jatuh tidak sakit/ lututnya tidak luka. Masuk akal dan cerdas, saya tahu, tapi tetap tidak saya ijinkan. Alhamdulillah waktu itu negosiasinya lancar. Saya memang masih terus belajar sabar, untuk bisa tulus menerima anak apa adanya, di antaranya dengan mengingat pesan AS Neill, pendiri Summerhill School, “Kehidupan batiniah anak lebih penting dari tampilan fisiknya.”

Bahagia. Adalah juga perjuangan bahwa anak harus belajar dengan bahagia. Dulu saya bercita-cita punya anak yang bisa membaca saat usianya 2 tahun. Saya buatkan buku gambar buah, yang di setiap halaman saya tulis nama buahnya dengan huruf yang besar-besar. Saya perlihatkan setiap ada kesempatan. Saya juga terus berpikir apa yang harus dilakukan agar tekad saya tercapai. Sampai kemudian saya bertemu dengan buku Fauzil Adhimn yang menyatakan bahwa yang terpenting justru menanamkan motivasi pre reading. Yap, anak harus dibuat senang dulu dengan buku. Saat-saat bersama buku adalah saat membahagiakan baginya. Soal kemampuan teknis membaca, itu gampang. Nanti kalau sudah saatnya, dia yang akan berjuang sendiri ‘menakhlukkan teks’ demi bisa mengerti apa-apa yang tertulis.

Bahagia. Anak saya suka main hujan-hujanan. Dulu, jangankan hujan-hujanan, main air saja saya larang. Karena saya khawatir anak saya suhu badannya meningkat (panas). Kenapa saya khawatir anak saya panas? Karena dia pernah kejang (step). Padahal saya tahu bahwa kejang bisa mematikan ribuan sel di otak. Gampangnya, keseringan kejang bisa merusak keerdasan anak.

Sampai kemudian saya menyadari bahwa jika anak saya bahagia, dia bisa mengoptimalkan apa saja yang ada padanya. (Soal ini saya kerap merujuk kalimat harapan Neill pada anak didiknya: menjadi kondektur yang bahagia lebih baik daripada menjadi sarjana yang sakit jiwa) Saya juga kemudian tahu bahwa apa yang dipikirkan orangtua kerap menjadi kenyataan pada diri anak. Gampangnya kalau saya berpikir (apalagi dikuatkan dengan ucapan), ”Jangan hujan-hujanan, nanti masuk angin lho!” anak akan betul-betul masuk angin. Tapi kalau dibilang, ”Tuh Mbak, hujan. Mau hujan-hujanan sekarang? Butuh apa? Ember? Botol?” Kegiatan itu didukung penuh dengan semangat, optimisme bahwa hujan adalah kesempatan untuk membaca ayat kauniyah, mengekspolarasi banyak hal, insya Allah tidak akan sakit.

Keputusan untuk membolehkan anak main hujan-hujanan memang bukan tanpa alasan. Selain memang untuk membahagiakan anak, juga karena saya pernah membaca tentang ’tips aman hujan-hujanan’. Intinya, pastikan anak dalam kondisi sehat dan kenyang. Nanti di sela-sela diguyur air hujan., saya beri air putih madu hangat. Kalau main hujannya agak lama bahkan saya suapi untuk kemudian main hujan-hujanan lagi.Usai hujan-hujanan, mandikan dengan air hangat dan baluri dengan minyak kayu putih.

Soal kekhawatiran terhadap badan hangat yang mungkin bisa step sehingga kecerdasan rusak, saya tercerahkan oleh sebuah cerita luar biasa. Tentang seorang ibu yang membacakan 11 buku untuk anaknya yang down syndrome (mentalnya terbelakang). 11 buku setiap hari! Hasilnya, anak itu kemudian memiliki kecerdasan normal. Dahsyat! Cerita itu menginspirasi saya untuk tidak mengkhawatirkan anak. Yang down syndrome saja bisa jadi normal, apalagi ’cuma’ rusak beberapa ribu sel saraf otak. Tapi, tentu, setiap kali saya selalu berdoa agar step itu tak terulang. Tak tega melihatnya menderita.

Konsep berikutnya tentang bahagia adalah anak belajar membahagiakan diri. Ini bisa dimulai dengan rasa penerimaaan diri. Kepercayaan diri yang oke. Untuk bisa mendapatkan hal tersebut, jelas peran orangtua sangat penting bahkan dominan. Biarkan saja orang lain mengomentari hidung anak kita pesek, kulitnya yang hitam, badannya yang pendek, atau memberi cap negatif semacam wedinan (penakut), gambreng (cengeng), jago kandang, dll, tapi sepanjang sang ibu selalu dengan yakin mengatakan ’kamu pinter, kamu hebat, kamu pasti bisa, ibu bangga padamu, kamu baik hati,’dll, anak akan punya self esteem yang tinggi.

Jika anak sudah bahgia, maka diharapkan dia bisa menularkan ’virus’ bahagia ini ke semua orang. Jika anak merasa nyaman dalam kondisi bahagia, maka diharapkan dia akan punya semangat membahagiakan siapa pun yang dikenalnya. MEMBAHAGIAKAN UMAT. Itulah ultimate goal-nya.

Untuk tujuan tersebut, saya buatkan 2 lagu untuk si sulung (lahir 4 Juni 2006)

Lagu pertama
Aulia anak sholihah
Selalu berbakti pada allah
Bertekad berkhidmat kepada umat
Ke mana saja membawa manfaat
Bertekad berkhidmat kepada umat
Di mana saja memberi manfaat
Kehadirannya membawa maslahat

Lagu kedua
Akulah Mazia Nur Aulia Irkham
Aku pintar dan baik hati
Aku suka menjelajah suka meneliti
Aku juga suka mengobati
Kan aku didik anak-anak negeri menjadi generasi berbudi
Menjadi generasi Robbani
Amiiin

Sementara untuk anak kedua, baru satu lagu yang tercipta (lahir 10 Juni 2009)
Akulah Mumtaza Zahwa Naila Irkham
Aku muslimah pemberani
Mujahidah yang tangguh
Mujahidah yang hebat
Meujahidah yang canggih
Pinter main komputer
Jago ngrakit pesawat
Mahir dalam banyak bahasa
Arab Inggris Perancis Jerman Jepang Rusia (biasanya saya sebutkan sebanyak yang saya ingat lalu saya akhiri dengan kata ‘semua semua’)

Tidak ada komentar: