Selasa, 16 Maret 2010

ANAKKU, ENGKAULAH GURU KEHIDUPANKU

Anak-anak adalah guru sejati yang dikirimkan oleh Allah untuk mengajari ibunya. Mereka adalah utusan Allah untuk menyadarkan ibunya tentang keberadaan dirinya yang masih jauh dari sempurna, dilihat dari kriteria mana pun. Keikhlasan, ketawakalan, kecakapan kerja, disiplin, komitmen, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Anak-anak adalah cermin yang sangat jujur menampilkan atau memantulkan kembali apa-apa yang telah mereka serap. Kala mereka meninggikan nada suara, kala mereka membentak, saya tahu bahwa sayalah sumber inspirasi utama mereka untuk begitu. Mengingat TV hampir tak pernah menyala di saat mereka terjaga, mengingat prosentase terbesar waktu mereka adalah di samping saya.

Belum pernah ada guru yang bisa membuat saya tahu kelemahan saya sedahsyat sekarang ini. Rasanya, tidak pernah ada satu hari pun yang beres dan baik-baik saja. Ada saja hal yang kurang. Ada saja hal yang membuat kecewa. Kadang senang karena rumah beres, bisa masak yang diminati anak, bisa membaca menulis, tapi membentak anak tetangga juga melotot pada anak sendiri. Rasanya sudah hati-hati, dzikir juga sudah dijalankan seoptimal mungkin biar rutin. Namun heran sekali, mengapa kesalahan masih saja terus terjadi. Mungkin memang itulah fitrah manusia. Tidak bisa lepas dari kesalahan. Nyatanya Harut dan Marut yang semula malaikat terbaik saja bisa melakukan sederet dosa, sehingga disiksa sampai hari kiamat, ketika ditambah nafsu (diubah Allah menjadi manusia). Tentu saja itu bukan alasan pembenar untuk terus melakukan kesalahan. Sekadar penenang hati, bahwa manusia memang tempatnya salah dan lupa. Maka, harus selalu bersandar pada Allah, harus selalu beristighfar, harus senantiasa memperbarui tekad untuk melakukan yang baik, yang lebih baik, lebih baik lagi. Begitu setiap hari. Insya Allah.

Mengasuh anak, membersamai anak-anak setiap hari, itu sungguh kebutuhan saya. Kalau saya enggan, misalnya, kemudian saya mencari pengasuh untuk anak, bisa jadi mereka akan mendapatkan pengasuh yang lebih sabar dan telaten. Tapi saya? Saya kehilangan kesempatan mendapat pengajaran dari guru-guru istimewa. Saya kehilangan kesempatan untuk mengecek kondisi diri. Iman, kesabaran, keikhlasan, dan sebagainya. Saya kehilangan kesempatan menatap kehidupan sosok yang nurani dan pikirannya bersih. Saya kehilangan kesempatan belajar mengerem emosi, bagaimana tetap ’waras’ saat fisik capek dan pikiran sedang tak tenang. Bagaimana bisa tetap terkendali saat hati dipenuhi oleh pelbagai rasa tak enak (karena gesekan persoalan dengan orang dewasa lainnya).
Masya Allah. Anak-anak adalah hadiah dari Allah untuk setiap ibu, bahkan juga orang-orang di sekelilingnya. Mendampingi anak membuat diri semangat untuk memberikan yang terbaik. Salah satunya adalah ASI. Saya keukeuh memberi ASI ke anak dengan eksklusif. Meski memang capek, berat, dan lisan tak jarang mengeluarkan keluh. Tapi saya tetap ingin memberi ASI eksklusif selama 6 bulan dan menggenapkan penyusuan sampai 2 tahun. Karena ASI itu produk Allah, disediakan-Nya untuk tumbuh kembang manusia. Komposisinya pasti pas dan tepat, dan pasti tidak mengandung resiko. Itulah mengapa saya tetap menyusui anak meski dia sudah punya adik (usia belum 2 tahun adiknya sudah lahir). Karena apa? Karena saya ingin dia makan makanan terbaik yang diberikan Allah. Saya pernah membaca kalau kandungan ASI berubah setiap hari, menyesuaikan kebutuhan anak. Subhanallah, kalau susu kaleng atau susu kardus mana bisa begitu. Lagipula, saya khawatir saja kalau anak sudah kecanduan susu formula tertentu, tiba-tiba ada pengumuman kalau susu tersebut mengandung ini dan itu yang berbahaya. Seperti yang pernah terjadi beberapa waktu yang lalu.

Mendampingi tumbuh kembang anak, menyaksikan kelucuan dan kelincahan mereka, binar ceria di mata mereka, memang membuat diri semangat untuk memberikan yang terbaik. Meski jadinya malah sering sebaliknya. Pingin segalanya beres, tapi karena satu dan lain hal tidak beres malah jadi ngamuk sama anak. Aneh, kan? Ya itulah. Semakin bertambah hari, rasanya bukan tambah sabar tapi tambah sering marah. Padahal sudah tahu kalau segala perilaku anak yang memancing emosi itu adalah tanda sehat dan kreatifnya mereka. Tapi ya itu, saat harus menghadapi anak yang banyak maunya, kerap terpancing marah. Kenyataan itu juga membuat diri prihatin. Harusnya kan semakin baik.
Mengasuh anak memang berat. Rasanya tidak akan pernah cukup ilmu, dzikir dan apa pun ikhtiar manusia. Bertawakkal pada Allah harus selalu menyertai setiap upaya. Karena hanya dengan pertolongan-Nya saja anak-anak bisa selamat dari segala pengaruh buruk termasuk keburukan akhlak ibunya. Astaghfirullah, saya sedih kalau ingat setiap perlakuan tidak baik saya terhadap anak, dikarenakan kelemahan saya. Kelemahan pengendalian diri, ketidaksabaran, dan lain sebagainya.

Anak-anak adalah guru yang mengajarkan ketulusan dan anti dendam. Mereka cepat sekali memaafkan dan tidak suka mengungkit kesalahan. Anak-anak juga meneladankan optimisme hidup. Lihat anak yang sedang belajar merangkak, berjalan, bersepeda. Mereka terus dan terus mencoba, meskipun jatuh, meskipun terluka. Mereka tidak mudah trauma dengan yang namanya ’kegagalan’. Mereka adalah guru sejati kehidupan dalam meraih kesuksesan.
Terima kasih, Ya Allah. Terima kasih anak-anakku.

Kamis, 11 Maret 2010

IBU RUMAH TANGGA HARUS BERDAYA

”Jadi artis itu enak ya. Kalau tidak suka sama suaminya, gampang aja langsung gugat cerai. Lha wong bisa cari uang sendiri,” ucap seorang ibu, usai menonton sebuah infotainmen. Ucapan yang saya dengar langsung itu kontan membuat saya kaget juga.
Teringatlah saya tentang sebuah percakapan dengan seorang teman semasa lajang. Teman tersebut bilang kalau perempuan itu meski sudah punya suami harus tetap kerja, harus bisa cari duit sendiri. Salah satu alasan, buat siap-siap kalau tiba-tiba suami mati atau kita harus bercerai.

Apa hubungannya paparan paragraf di atas dengan judul tulisan?
Tingkat keberdayaan seorang perempuan di dalam rumah tangga, disebut juga bargaining position, kerapkali dikaitkan dengan faktor ekonomi (menghasilkan tidaknya uang). Ucapan seorang ibu tentang artis yang minta cerai, ucapan teman saya tentang siap-siap kalau dicerai, menunjukkan sedikit bukti dari yang saya ungkapkan.
Rasanya, tidak adil dan tidak pas jika yang disebut bargaining position, kesetaraan pria-wanita dilihat dari sisi materi saja. Karena manusia bukanlah hanya sebentuk materi, bukan hanya susunan tulang yang dilapisi daging. Karena manusia disebut manusia justru karena akal dan budinya (akhlaknya).

Jadi, berdaya di sini, menurut saya, hendaknya lebih mengarah kepada kekuatan seorang perempuan untuk bersama-sama dengan suaminya membangun rumah tangga. Jadi, kesetaraan yang ada adalah di bidang pengambilan keputusan-keputusan, baik keputusan besar maupun kecil. Di dalam rumah tangga ada suasana saling menghormati dan menghargai. Jadi, sekali lagi parameternya bukan uang. Bukan siapa yang menghasilkan uang lebih banyak dia yang harus dipatuhi dan dihormati, hanya yang menghasilkan uang yang boleh punya pendapat, dan sebagainya.
Pada dasarnya, hubungan suami istri ya seperti hubungan dua manusia yang sejajar, sahabat begitulah. Jadi, bisa saling mengingatkan, saling mendukung. Itu yang saya sebut berdaya.
Tidak semua perempuan yang bekerja (menghasilkan uang) itu pasti berdaya lho. Contoh ekstrim adalah perempuan yang dipaksa jadi pelacur oleh suaminya.
Ada pula perempuan yang tidak berdaya untuk menolak keumuman di masyarakat. Misal di masyarakat itu umumnya rumah sudah bertembok. Lalu, dia memutuskan untuk kerja di luar negeri biar rumahnya bisa ditembok. Apakah itu sebuah bukti berdaya? Tidak. Karena di luar negeri, kerja jadi PRT itu resikonya besar sekali. Hampir tidak ada jaminan keselamatan. Saya pernah mendengar cerita kalau agen kerap berlaku kejam pada TKW yang minta ganti majikan karena tidak betah. Ditampar itu termasuk kategori penyiksaan ringan.

Money isn’t everything. Jika hanya uang yang menjadi alasan seorang ibu untuk bekerja di luar rumah (apalagi dengan resiko meninggalkan anak-anak yang masih butuh pengasuhan--usia balita), sebaiknya kembali saja ke rumah. Karena kebutuhan anak yang harus memakai uang sebenarnya tidak banyak. Ada banyak cara hemat untuk menyediakan makanan bergizi. Ada penjelasan yang bisa diberikan saat anak-anak meminta sesuatu yang belum dapat dijangkau orangtuanya.
Money isn’t everything. Konsep ini, jika disepakati kedua belah pihak(suami-istri) akan indah pada tataran aplikasinya. Suami tidak merasa lebih pantas dihormati lantaran sebagai satu-satunya penopang ekonomi keluarga, istri pun tidak minder lantaran tidak bekerja yang menghasilkan uang. Uang dipandang hanya sebagai salah satu alat untuk memenuhi kebutuhan. Salah satu alat, dan bukan satu-satunya.

Memang, mampu menghasilkan sendiri akan menghasilkan sebuah kepuasan. Yang perlu diingat, jangan sampai hal itu membuat perempuan mengabaikan tugas utamanya untuk mengasuh anak, mengurus rumah tangga dan menjaga kestabilan-keharmonisan keluarga.

Mari menjadi perempuan berdaya. Berdaya untuk tidak ikut-ikutan dengan sistem nilai yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Berdaya dari serbuan pemikiran yang nampaknya mengagungkan perempuan tapi sejatinya membuat perempuan kehilangan kekuatan hakikinya. Berdaya untuk memilih menjadi nyaman dan bahagia sesuai tuntunan ilahi Rabbi.

Minggu, 07 Maret 2010

WAHAI IBU, GENGGAM ERAT CITA-CITAMU

Seorang sahabat yang tidak sempat menyelesaikan S1-nya (padahal sudah hampir selesai) mengaku hidupnya mengalir tanpa target, tanpa pegangan. Mau kerja tidak punya ‘senjata’, katanya. Yang saya tangkap dari curhatnya, dia sudah tidak punya cita-cita. Tidak punya harapan yang digantung di langit tinggi. Ada pula seorang ibu yang sedih lantaran ijazah S1-nya (yang diperoleh dengan susah payah) tidak bisa dia gunakan lantaran suami tidak mengijinkan untuk bekerja di luar rumah.

Berakhirkah kehidupan seorang ibu yang tidak punya ijazah? Tamatkah harapan ibu yang tidak diijinkan suaminya bekerja di luar rumah? Benarkah perempuan yang berkutat di sektor domestik akan menjadi katak dalam tempurung? Dan apakah ibu yang kesehariannya mengasuh anak tidak perlu punya cita-cita untuk dirinya sendiri?
Jawaban dari sederet tanya di atas adalah: Tidak! Cita-cita seseorang, juga segala potensi yang ada padanya, sejatinya tidak bisa dimusnahkan oleh siapa pun, sepanjang cita-cita itu bukan sesuatu yang ‘sempit’. Segala cita-cita yang ujungnya kemanfaatan untuk diri, umat, dan tidak melulu berorientasi pada materi, punya ribuan jalan untuk mewujud. Jadi, cita-cita itu adalah sesuatu yang sifatnya ‘besar’ dan ‘umum’. Dengan jenis cita-cita yang besar, maka cita-cita yang semula sifatnya spesifik dan sempit, bisa dialihkan. Umpama: cita-citanya ingin jadi pegawai negeri. Tidak tercapai lantaran suami tidak mengijinkan istri kerja di kantor, misalnya. Kemudian disikapi dengan positif, dengan meneliti diri, sebenarnya jadi pegawai negeri itu ingin apanya. Prestise-nya, gaji tetap per bulannya, aplikasi ilmunya (bekerja sesuai bidang keilmuan yang dipelajari), atau ‘jaminan hari tua’ bernama pensiun. Dengan mengenali keinginan ‘asli’ dari sebuah cita-cita, maka seorang ibu bisa mengakali/mencari jalan lain, ketika satu jalan tertutup hambatan. Misalnya, yang mendorong untuk jadi PNS adalah aplikasi ilmu. Ilmu apa pun, saya kira bisa disalurkan dengan menulis. Buat blog, aktif menulis di dalamnya, tekun mengunjungi blog-blog lain untuk ’meninggalkan jejak’, juga mengikuti banyak milis yang sesuai dengan kebutuhan keilmuan. Buat tulisan, kirim ke media, buat buku, pastilah ilmu akan semakin berkembang. Jika yang ’menggiurkan’ dari PNS adalah soal penghasilan, ada banyak bisnis yang bisa dirintis. Soal jaminan hari tua, mengapa tidak yakin dengan jaminan dari Allah? Bukankah binatang saja mendapat jaminan rezeki dari-Nya? Mengapa harus khawatir?

Jika sudah terlalu lama cita-cita itu terlupakan, terkubur bersama aktivitas harian yang terus mengejar, mari sejenak berkelana ke masa anak-anak. Di mana cita-cita masih membubung tinggi. Ingat-ingat, apa yang ingin kita raih saat itu. Tulis, tanamkan dalam hati, bahwa saat ini kita masih berkesempatan meraihnya. Bahkan yang lebih tinggi pun bisa kita gapai. Bertemanlah dengan orang-orang yang bersemangat dalam melakukan kebaikan, yang punya cita-cita, yang tak henti belajar, agar cita-cita yang telah redup bisa menyala kembali.

Memiliki cita-cita akan membuat seorang ibu lebih hidup dalam hidupnya. Itulah yang saya rasakan. Saya begitu mencintai aktivitas membaca dan menulis. Namun saya telah bertekad untuk bisa menomorsatukan pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga. Jadi, saya bersemangat menyelesaikan tugas-tugas kerumahtanggaan dan mengurus anak-anak secepat-cepatnya plus sebaik-baiknya, agar bisa sesegera mungkin membaca dan menulis. Saya juga tertantang untuk bisa sukses ’membagi konsentrasi’.

Menurut saya, memiliki cita-cita bagi seorang ibu yang mengasuh mendidik anaknya secara full, adalah wajib. Mengapa? Karena seorang ibu yang memiliki cita-cita., seorang ibu yang punya visi akan kehidupannya (di dunia dan akhirat), seorang ibu yang punya gambaran kehidupan lebih baik untuk diri dan keluarga, tentu memiliki aura positif. Dan itu, bisa membuat hidupnya semangat. Kobaran semangat ibu, akan menular pada anak-anak. Kobaran semangat ibu, menyemangati anak-anak, bahwa mereka boleh memiliki cita-cita apa saja, sebesar dan setinggi apa pun.Cita-cita menjadi Presiden Amerika, Sekjen PBB, dokter spesialis berlevel internasional, ahli teknologi informasi yang paling dicari di seluruh dunia, orator fasih 100 bahasa. Apa pun! Karena anak-anak tahu, bahwa ibu yang mereka lihat kesehariannya memasak, mencuci piring, menyapu dan hal-hal yang tampak mudah lagi sederhana, juga memiliki cita-cita. Memiliki cita-cita dan melakukan segala cara untuk mewujudkannya. Anak-anak yang tahu bahwa ibunya terbuka terhadap informasi baru, haus akan ilmu, suka menjalin silaturahmi, menolak hidup ’dalam tempurung’ dan selalu optimis memandang kehidupan, insya Allah akan menjadi anak-anak yang lebih tangguh dalam memperjuangkan cita-citanya.
Ibu, masa depan umat dan bangsa ini ada di tangan anak-anak yang sekarang sedang kita asuh.
Semangati diri, setiap saat setiap hari, dengan menggenggam erat cita-cita!

SELAMATKAN DIRI DARI VIRUS MSO2

Mari kita berkenalan dengan satu jenis virus yang kerap menyerang manusia dewasa ini. Tentu saja, ibu rumah tangga termasuk di dalamnya. Apalagi profesi ibu rumah tangga adalah sebuah profesi mandiri. Tidak punya jam kerja yang pasti, tidak ada target-target dari pimpinan, dan tidak pula ada pengawas atau supervisor yang memberikan teguran atas kinerja yang kurang optimal. Sehingga kehadiran waktu luang terkadang justru menjadi bumerang lantaran kehadiran virus ini. Virus MSO2. Apa itu? Mikir Sing Ora-Ora, berasal dari bahasa jawa yang terjemah bebasa bahasa Indonesianya adalah ‘berpikir yang tidak-tidak’. Yang dimaksud tentu saja ‘tidak-tidak’ yang sifatnya negatif. Berpikir yang sifatnya menghayal alias panjang angan-angan termasuk di dalamnya.

Berpikir yang tidak-tidak. Berpikir sesuatu yang seharusnya tidak perlu dipikirkan. Memikirkan sesuatu yang sia-sia. MSO2 bisa berdampak: membesarkan perkara yang sejatinya kecil, membangkitkan lagi luka lama, membuat perasaan-perasaan negatif muncul. Misal, istri mendengar telepon dari seorang perempuan ke suami. Kemudian setelah itu (menurut istri) suami jadi nampak tidak tenang. Tidak bersikap seperti biasa. Kemudian, tanpa bertanya istri sibuk mengembangkan imajinasi tentang suami. Ini bisa lebih parah ketika istri suka membaca, mendengar dan melihat keadaan rumah tangga yang tidak harmonis, penuh perselingkuhan, dan warna-warni rumah tangga penuh cerita dramatis seperti yang biasa di hadir di gosip selebritis. Jangan-jangan suamiku... bla bla bla. Kemudian karena didorong rasa curiga, hape suami diperiksa. Seluruh bajunya dicium siapa tahu ada bau parfum yang berbeda. Kantong-kantong baju dan celana tak luput dari pemeriksaan, siapa tahu ada kertas-kertas mencurigakan, siapa tahu ada tiket ke taman hiburan atau bioskop. Macam-macam. Padahal yang terjadi suami menerima telepon dari perempuan dalam rangka membicarakan sesuatu yang biasa saja. Sedang kegugupan hari itu dikarenakan suami sedang dikejar banyak pihak untuk menyelesaikan tumpukan pekerjaan. Artinya, tidak ada hubungan antara telepon dari perempuan dengan perubahan sikap suami.

Saat virus MSO2 datang, segeralah berdzikir. Ingat Allah dengan hati dan lisan, lalu gerakkan anggota badan untuk persaksian iman. Bisa dengan berwudhu, sholat, baca Al Qur’an atau menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga. Alihkan pikiran ke hal-hal yang positif. Istighfar, lakukan introspeksi.
MSO2 kerap muncul di waktu luang. Jika selalu sibuk mengurus ini itu sampai kekurangan waktu, bagaimana sempat melamun dan memikirkan yang tidak-tidak?
Bagaimana menyikapi waktu luang? Ibu rumah tangga harus punya mimpi. Harus punya cita-cita. Dengan mimpi dan cita-cita itulah waktu luang akan digunakan sebaik mungkin. Daftar kegiatan-kegiatan apa saja yang ingin dilakukan (biasanya kalau sedang banyak pekerjaan yang harus ditangani malah muncul banyak ide untuk melakukan lebih banyak hal). Kegiatan-kegiatan yang sifatnya tidak mendesak namun penting bisa dilakukan saat waktu luang datang. Misal: memilah baju-baju yang sudah tidak terpakai, menjahit baju yang robek, menambal yang berlubang, memasang kancing lepas, menata ulang perabot rumah tangga (biar tidak bosan) atau silaturrahim ke teman atau guru ngaji.

Usahakan untuk melakukan aktivitas fisik dan pikiran secara bersamaan. Misal, melipat baju sambil memikirkan menu masakan. Intinya, jangan biarkan otak dan jiwa berlari-lari, liar tak terkendali, saat sedang melakukan aktivitas yang sifatnya rutin (tidak perlu berpikir). Rumit ya? :-) Apa sih maksudnya?
Mari terus mengupayakan penajaman sisi intelektual. Mari terus mngehidupkan hidup kita dengan cita-cita. Cita-cita bisa apa saja. Saya, misalnya, tetap menggenggam cita-cita sebagai penulis profesional. Maka, waktu luang saya gunakan sebaik mungkin untuk membaca, menulis, merenung, membuat coretan bahan tulisan, dan hal-hal yang terkait dengan itu.

Bagaimana jika belum memiliki cita-cita? Kenali diri dan hobi. Hobi itu bisa dikembangkan menjadi profesi. Misal suka masak, bisa dijadikan cita-cita punya katering yang terkenal. Suka menjahit, bisa mencita-citakan punya butik sendiri. Suka membuat aneka kerajinan, bisa dikembangkan menjadi home industri yang merekrut banyak tetangga sebagai karyawan (membantu pemerintah mengatasi masalah pengangguran), dll, dsb.
Miliki cita-cita, isilah waktu untuk memperjuangkan wujudnya. Jangan cuma dihayalkan.
Apakah berhayal tidak boleh?
Berhayal berbeda dengan bercita-cita. Berhayal kerap terjadi pada orang yang menginginkan sesuatu, tetapi dia membenamkan diri dalam angan-angan, sedang bercita-cita menginginkan sesuatu kemudian mengusahakannya.
(Soal cita-cita, kita bicara lebih lanjut di ‘Wahai Ibu, Genggam Dunia Cita-citamu’)

Jumat, 05 Maret 2010

Ibu Rumah Tangga 'Biasa', yang Seperti Apa?

Berkali-kali saya membaca istilah 'ibu rumah tangga biasa’ di berbagai media. Dari rangkaian keterangan yang menyertai, saya memprediksi bahwa lekatan 'ibu rumah tangga biasa' itu ditujukan kepada para ibu yang fokus kegiatannya di rumah (domestik). Umumnya mengarah pada perbandingan dengan 'ibu karier' (ibu yang memiliki peran di wilayah publik, biasanya bekerja yang menghasilkan uang atau minimal prestise). Perbandingan itu menempatkan ibu rumah tangga di wilayah domestik lebih rendah ketimbang yang berkiprah di wilayah publik. Seolah ibu rumah tangga adalah strata terendah peran seorang perempuan di dalam kehidupan.
Ini tidak berlebihan saya kira. Karena tak sekali dua kali saya membaca rangkaian kata ibu rumah tangga yang digandeng dengan kata ‘hanya’ atau ‘cuma’ di depannya atau ‘biasa’ di bagian belakang..
Ibu rumah tangga biasa, yang seperti apa? Mengapa disebut biasa? Atas dasar apa? Apakah berdasarkan kegiatannya sehari-hari yang terkesan biasa, rutin, tidak perlu keahlian khusus, lantas dipersepsikan bahwa semua orang pasti bisa (melakukannya dengan sukses)? Benarkah tidak perlu ilmu, trik dan tips, berbagai kiat, dll untuk pelaksanaan tugas kerumahtanggaan?
Saya memilih unutuk menjadikan ibu rumah tangga sebagai profesi utama. Meski demikian, saya juga memiliki profesi lain sebagai penulis. Di sekitar saya, banyak sekali ibu yang—barangkali—merekalah yang kerap disebut sebagai ‘ibu rumah tangga biasa’ tadi. Kenyataannya, saya tidak mendapati mereka sebagai perempuan yang biasa. Mereka perempuan-perempuan hebat. Mereka istimewa. Setidaknya dibandingkan saya yang punya profesi lain di samping sebagai ibu rumah tangga.
Benar saya bisa menulis. Mungkin saya juga tampak lebih, kadang merasa lebih karena saya bisa berhubungan dengan dunia luar, dan—ini yang kerap membuat perempuan sering merasa minder atau jumawa—menghasilkan uang. Tapi, saya benar-benar tak melihat bahwa saya lebih istimewa dari para ibu di sekeliling saya yang betul-betul full mengurus rumah tangga.
Pertama, saya menggunakan jasa seorang pembantu untuk pekerjaan mencuci baju, menyapu dan mengepel (kadang membantu memandikan anak). Kedua, suami tidak mewajibkan saya untuk memasak. Para ibu di sekeliling saya, mayoritas mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, dengan tangannya sendiri. Sudah begitu, mereka juga masih memiliki peran sebagai pencari (tambahan) nafkah. Minimal dengan mencari gabah sisa panen (ngasag) atau mencari kayu. Ada pula yang membuat es lilin untuk dititipkan di warung. Ada seorang ibu yang saya lihat selalu amat sangat sibuk. Sekali waktu bertemu, dia sedang mencari nasi aking(nasi basi yang dijemur samai kering), di lain waktu dia membeli pisang-pisang dari tetangga untuk dijual lagi, di hari yang berbeda saya menemuinya sedang bergegas hendak mencuci baju tetangga. Padahal di rumah dia juga punya warung
Dari mulai bangun tidur sampai hendak tidur lagi, seorang ibu rumah tangga (domestik) hampir selalu sibuk. Hampir selalu ada yang harus dikerjakan. Mengurus anak, mengurus suami, membereskan pernak-pernik kerumahtanggaan, menjalankan peran sosial semacam pengajian, arisan, rewang (membantu orang yang punya hajat), dll. Lalu, mengapa demikian mudah media (bahkan media yang mengatasnamakan perempuan, yang konon membela kepentingan perempuan), menyebut para perempuan yang fokus kegiatannya di rumah sebagai ibu rumah tangga 'biasa’? Apakah segala hal yang dilakukan oleh para ibu itu bukan bagian dari proses membangun martabat umat dan bangsa? Bukan bagian dari upaya membangun peradaban yang lebih baik? Lalu, apakah seorang perempuan memang harus mengambil peran publik untuk bisa disebut istimewa? Sampai kapan ironi ini harus terjadi?

Kamis, 04 Maret 2010

Kepentingan Anak atau Emak (Baca:Ibu/Mama/Bunda)?

Ketika sibuk merapikan baju di lemari anak, saya berpikir bahwa keadaan lemari yang rapi akan menguntungkan anak. Mudah dicari saat mau dipakai. Tidak bingung mencari-cari mana kaos dalam, mana celana pendek, mana celana panjang sehingga proses dari telanjang sampai memakai baju utuh bisa lebih cepat sehingga tidak perlu kedinginan lama. Tatkala saya sibuk merapikan mainannya yang tercecer, saya juga berpikir bahwa semua itu untuk kepentingan anak. Kalau dia mau main lagi, bisa. Kalau dia mau mencari mainan X, Y atau Z, dengan mudah bisa ditemukan. Kenyataannya?
Hal-hal yang saya maksudkan demi kepentingan anak itu, kerapkali berjalan dengan prosedur yang tidak menyenangkan buat anak. Terkadang saya melakukannya sambil marah atau mengomel. Mainan yang rusak, tidak utuh jumlahnya, berubah bentuk, danlain sebagainya. Saya malah jadi menuntut dan menyalahkan anak melebihi kadar. Saya ingin dia bertanggung jawab terhadap mainan-mainannya. Padahal, dia belum pahami itu.

Ketika saya menyapu halaman, menyapu rumah, saya berpikir saya tengah melakukan sesuatu yang penting untuk anak. Kalau lantai bersih, dia kan jadi sehat. Kalau bersih, dia juga nampak bersih. Kalau bersih, untuk main guling-gulingan juga nyaman, tidak khawatir badan jadi gatal.
Ketika saya menyuapinya, ketika saya memandikannya, ketika saya memotong kukunya, saya selalu berpikir bahwa semua itu demi kepentingan anak.
Ternyata, sangkaan awal saya—bahwa semua tindakan saya SEMATA demi kepentingan anak— tidak sepenuhnya benar. Ternyata, saya juga punya kepentingan di situ. Kalau tidak, untuk apa, saya terkadang marah jika anak menolak makan, mandi, keramas dengan shampoo atau dipotong kukunya? Mengapa saya marah tatkala anak mengotori lantai? Padahal saya sesadar-sadarnya tahu bahwa tingkah polah anak yang aktif (menyobek kertas, membuat berantakan mainan) itu justru pertanda anak sehat dan bahagia? Jadi, mengapa saya marah rupanya?

Karena saya punya kepentingan untuk diberi label sebagai ibu yang cekatan, yang resikan (suka bersih, rajin bersih-bersih-bhs Jawa), yang pintar merawat anak, yang lihai mengatur rumah tangga, dan sebagainya. Saya masih butuh pengakuan lingkungan, oleh karena itu atas nama kepentingan anak, saya paksa anak melakukan ini dan itu. Saya tuntut anak untuk memiliki performance dan perilaku yang mengesankan sebagai anak yang sehat, cerdas dan bahagia.
Saat penimbangan di posyandu menunjukkan berat badan anak tidak naik dan justru turun, rasanya saya ingin menyuruh anak makan apa saja. Rasanya kesal bukan kepalang ketika anak menolak apa pun yang saya masak, apa pun yang saya sodorkan. Rasanya gemas melihat anak tidak mau menyantap makanan yang saya prediksi bisa membuat tubuhnya ’berisi’. Apa kata orang nanti melihat anak saya kurus, punya berat badan di bawah standar, sementara saya gemuk? Bisa-bisa saya dikira ibu yang rakus, tidak perhatian pada tunbuh kembang anak, tidak paham soal gizi. Padahal saya kan berpendidikan dan cukup berwawasan. Apa kata orang ... padahal ....
Astaghfirullah. Godaan hati untuk selalu dianggap lebih baik dari ibu lain, menganggap diri lebih baik dari semua ibu, tak jarang memicu perilaku tidak bijak pada anak.

Oleh karena itu, mulai sekarang dan seterusnya, saya akan berjuang untuk selalu evaluasi. Ketika saya meniatkan satu perbuatan ’demi kepentingan anak’, maka saya akan mengusahakan cara-cara yang baik dan bijak, agar niat yang saya maksud bisa mencapai tujuan. Demi kepentingan anak yang saya tekadkan betul-betul mewujud sebagai kepentingan anak, tanpa kepentingan saya terlalu turut campur di dalamnya.
Insya Allah.

NODA DI BAJU ANAKKU

Awalnya saya amat sensitif dengan yang namanya noda di baju anak. Kena air jeruk sedikit saja baju anak langsung saya lepas, lalu saya kucek-kucek agar noda tersebut langsung hilang. Menunggu sampai esok hari tak sabar, karena khawatir noda tidak bisa hilang. Apalagi kena getah pisang, semangka, pepaya atau teh. Waah, langsung panik deh. Lama-lama saya merasa capek sendiri. Karena dalam sehari, acara pengotoran baju pasti terjadi, dan tidak cuma sekali. Masak saya harus konsentrasi mengawasi anak-anak dan bajunya? So, pada akhirnya saya biarkan saja. Kalau kotor sedikit, saya biarkan baju tetap dipakai. Kalau kotornya cukup banyak, saya cuma mengambil baju ganti, dan saya biarkan baju kotornya menunggu besok untuk dicuci.

Awalnya, saya memisahkan antara baju yang boleh dikotorin (baju rumah) dengan baju yang sebaiknya tetap bersih (untuk bepergian). Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Karena akhirnya anak bisa memilih baju yang ingin dikenakan. Dia mulai suka memakai baju yang baru. Bahkan baju yang baru bisa dipakai hampir tiap hari, sampai lebih dari sebulan. Masih di jemuran saja ditunggu dan ditanyakan terus kapan keringnya (karena mau segera dipakai). Baju yang sengaja saya ’sembunyikan’ di lemari besar untuk bepergian, sering diminta untuk dipakai sebagai baju di rumah. Untuk main pasir, untuk duduk di tanah, untuk perosotan. So pasti, warnanya kusam, pun terkena noda di sana-sini. Akhirnya, semua baju anak (terutama si sulung) menjadi ’baju rumah’.
Noda paling bikin ‘sakit mata’ adalah noda getah pisang. Kena getah pisang itu kotornya abadi. Kalau baju warna putih masih mending, bisa diberi pemutih. Kalau baju warna lain? Diberi pemutih noda memang hilang, tapi warna pakaian juga akan ikut luntur. Malah tidak bagus. Jadi, ya sudah, pasrah saja. Kalau kotornya keterlaluan, baju beralih fungsi jadi lap. Lebih baik begitu ketimbang pusing memikirkan cara membersihkan baju full noda membandel. Masak mau mengamuk sama anak gara-gara noda. Padahal baju itu kan ‘statusnya’ milik anak.
Betapa sering telinga mendengar ibu yang memperingatkan anaknya untuk tidak main kotor-kotoran, atau at least tidak mengotori baju barunya, dengan kata lain, kalau mau main yang kotor ganti baju jelek dulu. Awalnya, saya pun begitu.

Lambat laun saya pikir dan pikir, rasanya kelakuan semacam itu kok aneh. Bukankah fungsi pakaian itu melindungi pemakainya. Mengapa jadi pemakai baju yang malah harus melindungi bajunya. Jadi, sekarang ini, saya biarkan saja anak main apa saja, dengan baju yang mana saja. Memang sih, kadang masih ada rasa sayang kalau baju baru dipakai untuk main tanah. Pengin rasanya menyuruhnya untuk ganti baju tapi. Tapi, saya menahan diri untuk tidak melakukannya. Karena jika saya tetap mengambil tindakan tersebut, niscaya terbentuk konsep berpikir pada anak untuk menghormati selembar kain. Untuk mengistimewakan baju tertentu, yang biasanya terkait dengan acara tertentu. Misal, kalau di rumah pakai baju seadanya, kalau bepergian pakai baju yang bagus. Kalau ke pesta pernikahan pakai baju yang paling bagus. Dll. Dst.
Sejujurnya konsep semacam itu tidak pernah saya sepakati. Karena setahu saya, Rasul tidak pernah memberi saran untuk mengistimewakan acara tertentu dengan baju tertentu, kecuali hari raya. So, saya terus berupaya untuk tidak lagi mempermasalahkan baju dan noda-nodanya. Cuma noda baju gitu loh.
Tidak ada noda ya tidak belajar! :-)