Minggu, 07 Maret 2010

WAHAI IBU, GENGGAM ERAT CITA-CITAMU

Seorang sahabat yang tidak sempat menyelesaikan S1-nya (padahal sudah hampir selesai) mengaku hidupnya mengalir tanpa target, tanpa pegangan. Mau kerja tidak punya ‘senjata’, katanya. Yang saya tangkap dari curhatnya, dia sudah tidak punya cita-cita. Tidak punya harapan yang digantung di langit tinggi. Ada pula seorang ibu yang sedih lantaran ijazah S1-nya (yang diperoleh dengan susah payah) tidak bisa dia gunakan lantaran suami tidak mengijinkan untuk bekerja di luar rumah.

Berakhirkah kehidupan seorang ibu yang tidak punya ijazah? Tamatkah harapan ibu yang tidak diijinkan suaminya bekerja di luar rumah? Benarkah perempuan yang berkutat di sektor domestik akan menjadi katak dalam tempurung? Dan apakah ibu yang kesehariannya mengasuh anak tidak perlu punya cita-cita untuk dirinya sendiri?
Jawaban dari sederet tanya di atas adalah: Tidak! Cita-cita seseorang, juga segala potensi yang ada padanya, sejatinya tidak bisa dimusnahkan oleh siapa pun, sepanjang cita-cita itu bukan sesuatu yang ‘sempit’. Segala cita-cita yang ujungnya kemanfaatan untuk diri, umat, dan tidak melulu berorientasi pada materi, punya ribuan jalan untuk mewujud. Jadi, cita-cita itu adalah sesuatu yang sifatnya ‘besar’ dan ‘umum’. Dengan jenis cita-cita yang besar, maka cita-cita yang semula sifatnya spesifik dan sempit, bisa dialihkan. Umpama: cita-citanya ingin jadi pegawai negeri. Tidak tercapai lantaran suami tidak mengijinkan istri kerja di kantor, misalnya. Kemudian disikapi dengan positif, dengan meneliti diri, sebenarnya jadi pegawai negeri itu ingin apanya. Prestise-nya, gaji tetap per bulannya, aplikasi ilmunya (bekerja sesuai bidang keilmuan yang dipelajari), atau ‘jaminan hari tua’ bernama pensiun. Dengan mengenali keinginan ‘asli’ dari sebuah cita-cita, maka seorang ibu bisa mengakali/mencari jalan lain, ketika satu jalan tertutup hambatan. Misalnya, yang mendorong untuk jadi PNS adalah aplikasi ilmu. Ilmu apa pun, saya kira bisa disalurkan dengan menulis. Buat blog, aktif menulis di dalamnya, tekun mengunjungi blog-blog lain untuk ’meninggalkan jejak’, juga mengikuti banyak milis yang sesuai dengan kebutuhan keilmuan. Buat tulisan, kirim ke media, buat buku, pastilah ilmu akan semakin berkembang. Jika yang ’menggiurkan’ dari PNS adalah soal penghasilan, ada banyak bisnis yang bisa dirintis. Soal jaminan hari tua, mengapa tidak yakin dengan jaminan dari Allah? Bukankah binatang saja mendapat jaminan rezeki dari-Nya? Mengapa harus khawatir?

Jika sudah terlalu lama cita-cita itu terlupakan, terkubur bersama aktivitas harian yang terus mengejar, mari sejenak berkelana ke masa anak-anak. Di mana cita-cita masih membubung tinggi. Ingat-ingat, apa yang ingin kita raih saat itu. Tulis, tanamkan dalam hati, bahwa saat ini kita masih berkesempatan meraihnya. Bahkan yang lebih tinggi pun bisa kita gapai. Bertemanlah dengan orang-orang yang bersemangat dalam melakukan kebaikan, yang punya cita-cita, yang tak henti belajar, agar cita-cita yang telah redup bisa menyala kembali.

Memiliki cita-cita akan membuat seorang ibu lebih hidup dalam hidupnya. Itulah yang saya rasakan. Saya begitu mencintai aktivitas membaca dan menulis. Namun saya telah bertekad untuk bisa menomorsatukan pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga. Jadi, saya bersemangat menyelesaikan tugas-tugas kerumahtanggaan dan mengurus anak-anak secepat-cepatnya plus sebaik-baiknya, agar bisa sesegera mungkin membaca dan menulis. Saya juga tertantang untuk bisa sukses ’membagi konsentrasi’.

Menurut saya, memiliki cita-cita bagi seorang ibu yang mengasuh mendidik anaknya secara full, adalah wajib. Mengapa? Karena seorang ibu yang memiliki cita-cita., seorang ibu yang punya visi akan kehidupannya (di dunia dan akhirat), seorang ibu yang punya gambaran kehidupan lebih baik untuk diri dan keluarga, tentu memiliki aura positif. Dan itu, bisa membuat hidupnya semangat. Kobaran semangat ibu, akan menular pada anak-anak. Kobaran semangat ibu, menyemangati anak-anak, bahwa mereka boleh memiliki cita-cita apa saja, sebesar dan setinggi apa pun.Cita-cita menjadi Presiden Amerika, Sekjen PBB, dokter spesialis berlevel internasional, ahli teknologi informasi yang paling dicari di seluruh dunia, orator fasih 100 bahasa. Apa pun! Karena anak-anak tahu, bahwa ibu yang mereka lihat kesehariannya memasak, mencuci piring, menyapu dan hal-hal yang tampak mudah lagi sederhana, juga memiliki cita-cita. Memiliki cita-cita dan melakukan segala cara untuk mewujudkannya. Anak-anak yang tahu bahwa ibunya terbuka terhadap informasi baru, haus akan ilmu, suka menjalin silaturahmi, menolak hidup ’dalam tempurung’ dan selalu optimis memandang kehidupan, insya Allah akan menjadi anak-anak yang lebih tangguh dalam memperjuangkan cita-citanya.
Ibu, masa depan umat dan bangsa ini ada di tangan anak-anak yang sekarang sedang kita asuh.
Semangati diri, setiap saat setiap hari, dengan menggenggam erat cita-cita!

Tidak ada komentar: