Kamis, 04 Maret 2010

BELAJAR DARI GAME

Suatu ketika saya keranjingan satu jenis game di hape adik. Suatu hari, saking asyiknya memainkan game favorit tersebut, saya lengah. Saya tidak memperhatikan anak seserius biasanya. Saya tidak melihat anak saya yang merangkak mengikuti langkah nenek masuk ke dalam kamarnya. Nenek itu bukan nenek kandung saya, kebetulan saya sedang berkunjung, dan saya ... belum tahu apa isi kamar si nenek. Anak saya merangkak dan menyentuh termos yang diletakkan di bawah. Termos jatuh. Meski tidak terbuka, tetap saja ada ceceran air panas yang mengenai tangannya. Tangannya pun melepuh. Seingat saya perlu waktu hampir sebulan untuk pulih. Andai saat itu saya adalah seorang baby sitter, maka saya pasti segera dipecat dengan tidak hormat , atau bahkan dianiaya oleh majikan. Saya termenung, tercenung, mencoba menganalisa. Kok bisa ya saya tersihir oleh game? Kok bisa sih game membuat saya selengah itu?

Apakah Anda pernah seperti saya? Atau barangkali bukan Anda tetapi anak Anda? Anak menjadi pecandu berat game (apa saja mulai dari yang di hape, internet maupun playstation) sehingga malas makan, mandi, sholat, juga belajar?
Mari kita coba telisik sama-sama. Di mana sebenarnya letak ’kekuatan sihir’ game?
Game, secara umum menawarkan sebuah hiburan sekaligus penghargaan. Game memenuhi kebutuhan manusia akan penerimaan dan rasa berharga. Beberapa jenis game bahkan membuat si pemain merasa sebagai pemberani atau pahlawan lantaran ’berhasil’ menakhlukkan ’tantangan’.

Game yang membuat saya kecanduan itu, selalu mengucapkan selamat, selalu muncul kata congratulation tiap kali saya saya berhasil menyelesaikan sebuah tahap. Ucapan itu, sangat memotivasi untuk mencoba grade berikutnya. Ada semacam dorongan kuat dalam diri untuk mendapatkan ucapan congratulation lagi. Uniknya, jika saya gagal, game tertutup begitu saja, tanpa ucapan yang buruk/ memaki, kecuali muncul tulisan game over. Sudah.

Kenyataan tersebut saya bawa ke wilayah renung pengasuhan anak. Bagaimana cara kita (saya gunakan istilah kita untuk melibatkan cara pengasuhan beberapa orang yang saya ketahui) selama ini dalam menemani tumbuh kembang anak? Kita lebih sering bersikap menghargai anak saat dia melakukan kebaikan dan menahan diri saat dia bersalah atau justru sebaliknya? Kalau anak melakukan hal-hal baik dianggap biasa, kalau anak melakukan kesalahan, barulah perhatian kita tertumpah padanya.

Padahal anak, intinya butuh perhatian. Kalau dengan ulahnya yang tidak menyenangkan hati kita justru membuatnya mendapat perhatian, maka bisa jadi anak berpikir bahwa itulah cara terefektif untuk menarik perhatian. Dalam sebuah buku, saya malah pernah membaca tentang tingginya kebutuhan anak akan perhatian, sampai-sampai dimarahi/dipukul lebih baik bagi anak ketimbang dia tidak diperhatikan sama sekali.
Karena game, saya pernah melakukan satu kesalahan fatal. Untuk itu, karena game pula, saya harus menebus kesalahan. Saya belajar tentang sebuah hal penting. Bahwa setiap orang, tentu termasuk anak-anak kita, lebih suka dihargai/dipuji ketimbang dimaki.

Tidak ada komentar: