Jumat, 05 Maret 2010

Ibu Rumah Tangga 'Biasa', yang Seperti Apa?

Berkali-kali saya membaca istilah 'ibu rumah tangga biasa’ di berbagai media. Dari rangkaian keterangan yang menyertai, saya memprediksi bahwa lekatan 'ibu rumah tangga biasa' itu ditujukan kepada para ibu yang fokus kegiatannya di rumah (domestik). Umumnya mengarah pada perbandingan dengan 'ibu karier' (ibu yang memiliki peran di wilayah publik, biasanya bekerja yang menghasilkan uang atau minimal prestise). Perbandingan itu menempatkan ibu rumah tangga di wilayah domestik lebih rendah ketimbang yang berkiprah di wilayah publik. Seolah ibu rumah tangga adalah strata terendah peran seorang perempuan di dalam kehidupan.
Ini tidak berlebihan saya kira. Karena tak sekali dua kali saya membaca rangkaian kata ibu rumah tangga yang digandeng dengan kata ‘hanya’ atau ‘cuma’ di depannya atau ‘biasa’ di bagian belakang..
Ibu rumah tangga biasa, yang seperti apa? Mengapa disebut biasa? Atas dasar apa? Apakah berdasarkan kegiatannya sehari-hari yang terkesan biasa, rutin, tidak perlu keahlian khusus, lantas dipersepsikan bahwa semua orang pasti bisa (melakukannya dengan sukses)? Benarkah tidak perlu ilmu, trik dan tips, berbagai kiat, dll untuk pelaksanaan tugas kerumahtanggaan?
Saya memilih unutuk menjadikan ibu rumah tangga sebagai profesi utama. Meski demikian, saya juga memiliki profesi lain sebagai penulis. Di sekitar saya, banyak sekali ibu yang—barangkali—merekalah yang kerap disebut sebagai ‘ibu rumah tangga biasa’ tadi. Kenyataannya, saya tidak mendapati mereka sebagai perempuan yang biasa. Mereka perempuan-perempuan hebat. Mereka istimewa. Setidaknya dibandingkan saya yang punya profesi lain di samping sebagai ibu rumah tangga.
Benar saya bisa menulis. Mungkin saya juga tampak lebih, kadang merasa lebih karena saya bisa berhubungan dengan dunia luar, dan—ini yang kerap membuat perempuan sering merasa minder atau jumawa—menghasilkan uang. Tapi, saya benar-benar tak melihat bahwa saya lebih istimewa dari para ibu di sekeliling saya yang betul-betul full mengurus rumah tangga.
Pertama, saya menggunakan jasa seorang pembantu untuk pekerjaan mencuci baju, menyapu dan mengepel (kadang membantu memandikan anak). Kedua, suami tidak mewajibkan saya untuk memasak. Para ibu di sekeliling saya, mayoritas mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, dengan tangannya sendiri. Sudah begitu, mereka juga masih memiliki peran sebagai pencari (tambahan) nafkah. Minimal dengan mencari gabah sisa panen (ngasag) atau mencari kayu. Ada pula yang membuat es lilin untuk dititipkan di warung. Ada seorang ibu yang saya lihat selalu amat sangat sibuk. Sekali waktu bertemu, dia sedang mencari nasi aking(nasi basi yang dijemur samai kering), di lain waktu dia membeli pisang-pisang dari tetangga untuk dijual lagi, di hari yang berbeda saya menemuinya sedang bergegas hendak mencuci baju tetangga. Padahal di rumah dia juga punya warung
Dari mulai bangun tidur sampai hendak tidur lagi, seorang ibu rumah tangga (domestik) hampir selalu sibuk. Hampir selalu ada yang harus dikerjakan. Mengurus anak, mengurus suami, membereskan pernak-pernik kerumahtanggaan, menjalankan peran sosial semacam pengajian, arisan, rewang (membantu orang yang punya hajat), dll. Lalu, mengapa demikian mudah media (bahkan media yang mengatasnamakan perempuan, yang konon membela kepentingan perempuan), menyebut para perempuan yang fokus kegiatannya di rumah sebagai ibu rumah tangga 'biasa’? Apakah segala hal yang dilakukan oleh para ibu itu bukan bagian dari proses membangun martabat umat dan bangsa? Bukan bagian dari upaya membangun peradaban yang lebih baik? Lalu, apakah seorang perempuan memang harus mengambil peran publik untuk bisa disebut istimewa? Sampai kapan ironi ini harus terjadi?

Tidak ada komentar: