Kamis, 04 Maret 2010

Kepentingan Anak atau Emak (Baca:Ibu/Mama/Bunda)?

Ketika sibuk merapikan baju di lemari anak, saya berpikir bahwa keadaan lemari yang rapi akan menguntungkan anak. Mudah dicari saat mau dipakai. Tidak bingung mencari-cari mana kaos dalam, mana celana pendek, mana celana panjang sehingga proses dari telanjang sampai memakai baju utuh bisa lebih cepat sehingga tidak perlu kedinginan lama. Tatkala saya sibuk merapikan mainannya yang tercecer, saya juga berpikir bahwa semua itu untuk kepentingan anak. Kalau dia mau main lagi, bisa. Kalau dia mau mencari mainan X, Y atau Z, dengan mudah bisa ditemukan. Kenyataannya?
Hal-hal yang saya maksudkan demi kepentingan anak itu, kerapkali berjalan dengan prosedur yang tidak menyenangkan buat anak. Terkadang saya melakukannya sambil marah atau mengomel. Mainan yang rusak, tidak utuh jumlahnya, berubah bentuk, danlain sebagainya. Saya malah jadi menuntut dan menyalahkan anak melebihi kadar. Saya ingin dia bertanggung jawab terhadap mainan-mainannya. Padahal, dia belum pahami itu.

Ketika saya menyapu halaman, menyapu rumah, saya berpikir saya tengah melakukan sesuatu yang penting untuk anak. Kalau lantai bersih, dia kan jadi sehat. Kalau bersih, dia juga nampak bersih. Kalau bersih, untuk main guling-gulingan juga nyaman, tidak khawatir badan jadi gatal.
Ketika saya menyuapinya, ketika saya memandikannya, ketika saya memotong kukunya, saya selalu berpikir bahwa semua itu demi kepentingan anak.
Ternyata, sangkaan awal saya—bahwa semua tindakan saya SEMATA demi kepentingan anak— tidak sepenuhnya benar. Ternyata, saya juga punya kepentingan di situ. Kalau tidak, untuk apa, saya terkadang marah jika anak menolak makan, mandi, keramas dengan shampoo atau dipotong kukunya? Mengapa saya marah tatkala anak mengotori lantai? Padahal saya sesadar-sadarnya tahu bahwa tingkah polah anak yang aktif (menyobek kertas, membuat berantakan mainan) itu justru pertanda anak sehat dan bahagia? Jadi, mengapa saya marah rupanya?

Karena saya punya kepentingan untuk diberi label sebagai ibu yang cekatan, yang resikan (suka bersih, rajin bersih-bersih-bhs Jawa), yang pintar merawat anak, yang lihai mengatur rumah tangga, dan sebagainya. Saya masih butuh pengakuan lingkungan, oleh karena itu atas nama kepentingan anak, saya paksa anak melakukan ini dan itu. Saya tuntut anak untuk memiliki performance dan perilaku yang mengesankan sebagai anak yang sehat, cerdas dan bahagia.
Saat penimbangan di posyandu menunjukkan berat badan anak tidak naik dan justru turun, rasanya saya ingin menyuruh anak makan apa saja. Rasanya kesal bukan kepalang ketika anak menolak apa pun yang saya masak, apa pun yang saya sodorkan. Rasanya gemas melihat anak tidak mau menyantap makanan yang saya prediksi bisa membuat tubuhnya ’berisi’. Apa kata orang nanti melihat anak saya kurus, punya berat badan di bawah standar, sementara saya gemuk? Bisa-bisa saya dikira ibu yang rakus, tidak perhatian pada tunbuh kembang anak, tidak paham soal gizi. Padahal saya kan berpendidikan dan cukup berwawasan. Apa kata orang ... padahal ....
Astaghfirullah. Godaan hati untuk selalu dianggap lebih baik dari ibu lain, menganggap diri lebih baik dari semua ibu, tak jarang memicu perilaku tidak bijak pada anak.

Oleh karena itu, mulai sekarang dan seterusnya, saya akan berjuang untuk selalu evaluasi. Ketika saya meniatkan satu perbuatan ’demi kepentingan anak’, maka saya akan mengusahakan cara-cara yang baik dan bijak, agar niat yang saya maksud bisa mencapai tujuan. Demi kepentingan anak yang saya tekadkan betul-betul mewujud sebagai kepentingan anak, tanpa kepentingan saya terlalu turut campur di dalamnya.
Insya Allah.

Tidak ada komentar: